Senin, 03 Mei 2021

Kinayah

 

I.     Pendahuluan

A.  Latar Belakang Masalah

Bahasa Arab merupakan bahasa al-Qur’an yang mempunyai retorika indah. Untuk dapat memahami bahasa Arab dari segi retorikanya, maka dibutuhkan pengetahuan lebih mendalam mengenai ilmu balaghah.

Ilmu balaghah adalah ilmu yang mempelajari tentang bagaimana mengolah kata atau susunan kalimat bahasa Arab. Dalam ilmu balaghah terdapat tiga kajian utama yaitu ilmu ma’ani, ilmu bayan, dan ilmu badi’. Dari ketiga ilmu tersebut, ilmu bayan merupakan ilmu yang memfokuskan kajiannya pada gaya bahasa. Ilmu bayan mengajarkan beragam tehnik pengungkapan gagasan melalui bahasa yang indah dan menarik.

Salah satu bahasan utama dalam ilmu bayan adalah mengenai kinayah. Kinayah merupakan suatu pengungkapan yang pengertiannya bersifat polisemi, bisa bermakna denotatif (haqiqi) dan bisa juga bermakna konotatif (majazi). Karena secara teoritis kinayah mempunyai pengertian yang bersifat polisemi, maka perbedaan penafsiran bahasa Arab pun sering terjadi. Oleh karena itu, untuk memberikan kejelasan makna dari sebuah kalimat yang dikinayahkan, maka dibutuhkan tinjauan secara lebih mendalam mengenai kinayah itu sendiri. Dan pembahasan mengenai kinayah tersebut akan dijelaskan secara lebih rinci pada bab selanjutnya.

B.  Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut:

1.    Apakah pengertian dari kinayah?

2.    Bagaimana pengkategorisasian kinayah?

3.    Apakah tujuan dari kinayah?

 

 

II.  Pembahasan

A.  Pengertian Kinayah

Menurut Ahmad Al-Hasyimi kata kinayah (كناية) merupakan bentuk mashdar dari kata kerja (كنى – يكنى – كناية). Secara leksikal kinayah bermakna "ما يتكلم به الإنسان ويريد به غيره"  (suatu perkataan yang diucapkan oleh seseorang, akan tetapi maksudnya berbeda dengan teks yang diucapkannya). Dalam ungkapan Bahasa Arab biasa diucapkan; "كنيت بكذا" maksudnya adalah; “saya meninggalkan ungkapan yang sharih/jelas dengan ucapan tersebut”. Sedangkan Kinayah secara terminologi adalah
كلام أطلق و اريد به لازم معناه مع جوازالمعنى لأصلى , Artinya : “suatu kalimat yang diungkapkan dengan maksud makna kelazimannya, akan tetapi tetap dibolehkan mengambil makna haqiqinya”.[1] Kinayah adalah lafadz yang memerlukan penjelasan. menurut Jumhur Ulama  kinayah adalah suatu ucapan talak yang diucapkan dengan kata-kata yang tidak jelas atau melalui sindiran.[2]

Secara bahasa, kinayah berarti kiasan atau sindiran. Maksudnya, perkataan itu menggunakan bahasa yang tidak jelas, sebagai kiasan atau sindiran untuk dimaksudkan pada pengertian yang lain. Sedang menurut istilah, kinayah adalah:

لفظ اُريد به غير معناه الذى وضع له، مع جواز ارادة المعنى الا صلى لعدم وجود قرينة ما نعة من ارادته

“ lafadz yang dimaksdukan pada selain (makna aslinya) sebagaimana telah buat untuknya, dengan bolehnya makna asli karena tidak terdapat qarinah yang menghalanginya”.

Dengan perkataan lain, kinayah adalah ungkapan bahasa yang tidak jelas, karena menggunakan bahasa kiasan atau sindiran, untuk mendapatkan selain makna aslinya melalui makna asli itu sendiri, karena tidak terdapat qarinah yang menghalangi dimaksdukannya makna asli sebagai perantara.

Dari pengertian kinayah di atas, ternyata terdapat perbedaan dengan majaz. Dalam majaz tidak boleh dikehendaki makna aslinya, walaupun hanya sebagai perantara untuk mendapatkan makna yang dikehendaki. Berbeda dalam kinayah, bahwa untuk mendapatkan makna lain yang dikehendaki harus melalui makna aslinya, karena tidak terdapat qarinah yang menghalanginya. Ketentuan itu terkadang tidak diperbolehkan, karena menyangkut pembicaraan tertentu. Seperti firman Allah:

الرحمن على العرش استوى

“ (yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah, yang bersemayam di atas ‘Arsy” (QS: 20: 5). Ayat itu merupakan kinayah dari sempurnanya kekuasaan Allah dan kuatnya menguasai. Namun untuk mencapai makna yang dimaksudkan, tidak dapat berangkat dari makna aslinya.

Contoh lain dari kinayah adalah:

زيد طويل النجاد

“Zaid orang yang panjang sarung pedangnya”. Makna yang dimaksudkan adalah orang yang sangat berani, karena lazimnya, setiap orang yang panjang sarung pedangnya adalah orang yang panjang atau tinggi badannya, dan setiap yang tinggi badanny adalah orang yang sangat berani. Dengan demikian, contoh di atas merupakan kinayah dari orang yang tinggi badannya, meskipun tidak memiliki sarung pedang. Namun juga boleh dimaksdukan makna aslinya sebagai perantara.[3]

Perbedaan antara majaz dan kinayah terletak pada hubungan antara makna haqiqi (denotatif) dengan makna majazi (konotatif). Pada ungkapan berbentuk majaz, teks harus dimaknai secara majazi dan tidak boleh dimaknai secara haqiqi. Sedangkan pada ungkapan kinayah, teks harus dimaknai dengan makna lazimnya, akan tetapi dibolehkan juga dimaknai secara haqiqi.[4]

B.  Kategorisasi Kinayah

Ø Kategorisasi Kinayah dari Aspek Makna

Kinayah dalam bidang ilmu balagah sangatlah beragam tergantung dari aspek makna kita memandangnya. Jenis-jenis Kinayah pada dasarnya dapat dilihat dari dua aspek; pertama, dari aspek makny‘anhu-nya (kata-kata yang di-kinayah-kan), kedua, aspek wasaith (media)-nya.

Para ulama balagah membagi kinayah dari aspek makny‘anhu-nya menjadi tiga jenis, yaitu shifah, mausuf, dan nisbah. Adapun penjelasannya ialah sebagai berikut:

a.    Kinayah Shifah

Kinayah Shifaf adalah pengungkapan sifat tertentu tidak dengan jelas, melainkan dengan isyarah atau ungkapan yang dapat menunjukkan maknanya yang umum. Istilah sifat yang merupakan jenis kinayah pada ilmu balagah berbeda dengan istilah sifat pada ilmu nahwu. Sifat sebagai salah satu karakteristik kinayah berarti sifat dalam pengertiannya yang maknawi, seperti : kedermawanan, keberanian, panjang, keindahan dan sifat-sifat lainnya. Kinayah dari sifat artinya yang disindir adalah sifat yang melekat pada sesuatu yang disifati (mausuf). Kinayah shifah menurut Ahmad Al-Hasyimi mempunyai dua jenis, yaitu:

1.    Kinayah Qaribah

Suatu kinayah dinamakan kinayah qaribah apabila perjalanan makna dari lafadz yang di-kinayah-kan (makny ‘anhu) kepada lafadz kinayah tanpa melalui media atau perantara.

Contoh : رفيع العماد طويل النجاد

Ungkapan رفيع العمادdan طويل النجاد  pada asalnya bermakna; ‘tinggi tiangnya’ dan ‘panjang sarung pedangnya’. Dalam uslub kinayah, lafadz-lafadz tersebut bermakna ‘terhormat’ dan ‘pemberani’. Sehingga kita melihat bahwa perpindahan makna dari makna asal ke makna kinayah, terjadi tanpa melakukan wasilah atau perantara berupa lafadz-lafadz yang lainnya.

2.    Kinayah Ba’idah

Dalam kinayah jenis ini, perpindahan makna dari makna pada lafadz-lafadz kinayah memerlukan lafadz-lafadz lain untuk menjelaskannya. Contohnya ada pada ungkapan كثير الرماد ungkapan di atas apada asalnya bermakna; banyak abunya, kemudian digunakan sebagai bentuk kinayah untuk menyifati seseorang yang memiliki sifat dermawan.

Proses perpindahan dari makna asal kepada makna kinayah pada ungkapan ini memerlukan beberapa lafadz dan ungkapan lain untuk menjelaskannya. Urutan makna dari banyak abunya kepada sifat dermawan bisa dilihat dari ungkapan-ungkapan berikut :

-       Seseorang yag banyak abunya berarti banyak menyalakan api

-       Orang yang banyak menyalakan api berarti banyak memasak

-       Orang yang banyak memasak berarti banyak tamunya

-       Orang yang banyak tamunya biasanya orang yang dermawan

b.    Kinayah Mausuf

Suatu uslub disebut kinayah mausuf apabila yang menjadi maknu‘anhu-nya atau lafadz yag di-kinayah-kannya adalah mausuf atau dzat. Maksudnya yang disindir adalah sesuatu yang disifati (mausuf). Lafadz-lafadz yang dikinayah-kan pada jenis kinayah ini adalah mausuf, seperti ungkapan أبناء انيل yang bermakna ‘bangsa Mesir’. Ungkapan tersebut merupakan mausuf (dzat) bukan sifat.

Kinayah mausuf ada dua jenis, yaitu:

1.    Kinayah yang makny ‘anhu-nya diungkapkan hanya dengan satu ungkapan, seperti ungkapan موطن لأسرار, yang artinya tempat rahasia, sebagai kinayah dari lafadz القلب.

2.    Kinayah yang makny ‘anhu-nya diungkapkan dengan ungkapan yang banyak, seperti ungkapan جاءنى حى مستوى القامة عريض الأظفار”, yang artinya telah datang kepadaku orang yang hidup, tegak badannya, dan lebar kukunya, sebagai kinayah dari lafadz الإنسان. Pada jenis kinayah ini, harus diikhususkan untuk mausuf, tidak untuk yang lainnya.

c.    Kinayah Nisbah

Suatu bentuk kinayah dinamakan kinayah nisbah apabila lafadz yang menjadi kinayah bukan merupakan sifat dan bukan pula merupakan mausuf, akan tetapi merupakan hubungan sifat kepada mausuf.

Contoh :  المجد بين ثوبيك # والكرم ملءبرديك

Artinya : “keagungan berada di kedua pakaianmu, dan kemuliaan itu memenuhi kedua baju burdamu”.

Pada syi’ir di atas, pembicara bermaksud menisbahkan keagungan dan kemuliaan orang yang diajak bicara. Namun, ia tak dapat menisbatkan kedua sifat itu secara langsung kepadanya, melainkan kepada sesuatu yang berkaitan dengannya, yakni dua pakaian dan dua selimut. Kinayah yang berupa penisbatan seperti ini dinamakn kinayah nisbah.[5]

خير الناس من ينفعهم

Artinya: “sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi banyak orang”. Contoh kinayah itu sebagai kinayah dari tidak terdapatnya kebaikan bagi orang yang tidak bermanfaat untuk orang banyak.[6]

Ø Kategorisasi Kinayah dari Aspek Wasaith (Media)

Selain dari aspek makny‘anhu-nya, kategorisasi kinayah dapat ditinjau dari aspek wasaith-nya (lafadz-lafadz atau makna-maknayang menjadi media atau penyambung dari makna haqiqi kepada makna majazi) dapat dibagi menjadi empat kategori yaitu, ta’ridh, talwih, ramz dan ima.

1.    Ta’ridh (sindiran)

Secara leksikal, ta’ridh berarti suatu ungkapan yang maknanya menyalahi zhahir lafadz. Sedangkan secara terminologi, ta’ridh berarti suatu ungkapan yang mempunyai makna yang berbeda dengan makna sebenarnya. Pengambilan makna tersebut didasarkan kepada konteks pengucapannya (Bakri Syaikh Amin).
Contoh ungkapan ta’ridh bias dilihat pada hadits tentang seseorang yang berkata kepada orang yang suka menyakiti saudaranya, sebagai berikut :

المسلم من سلم المسلمون من لسانه ويده

Artinya: “seorang muslim yang benar adalah apabila sesama muslim yang lain merasa aman dari gangguan lisan dan tangannya”.

Ungkapan di atas merupakan sindiran bagi seseorang yang suka menyakiti saudaranya, maka hilanglah sifat-sifat muslim dari padanya.
Orang Arab sendiri biasa mengungkapkan sesuatu dengan model ta’ridh. model ini lebih halus dan indah dibandingkan dengan pengungkapan secara terang-terangan. Jika seseorang mengungkapkan sifat orang lain dengan terang-terangan maka orang tersebut tentu akan merasa terhina.

2.    Talwih

Secara bahasa talwih berarti, “engkau menunjuk kepada orang lain dari kejauhan”. Sedangkan secara terminologi, Bakri Syaikh Amin mengatakan : “talwih adalah jenis kinayah yang didalamnya terdapat banyak wasaith (media), dan tidak menggunakan gaya ta’ridh”. Dengan bahasa lain, Taufiq Alfail  mengatakan bahwa talwih adalah jenis kinayah.

Mengomentari talwih dalam Al-Qur’an, Zarkasyi berkata : “talwih adalah seorang mutakallim member isyarah kepada pendengarnya pada sesuatu yang dimaksudkannya”.

Contoh talwih dalam hal ini adalah firman Allah Swt. Dalam surah Al-Anbiya’ ayat 63 :

قاَلَ بَلْ فَعَلُوْهُ كَبِيْرُهُمْ هذَا فَاسْأَلُوهُمْ إِنْ كَا نُوْ يَنْطِقُوْنَ (لأنبياء : ٦٣ )

Artinya: “Ibrahim menjawab : sebenarnya patung yang besar itulah yang melakukannya, maka tanyakanlah kepada berhala itu, jika mereka dapat berbicara”.

Maksud ungkapan فَاسْأَلوُهُمْ adalah untukاستهزاء sekaligus mengungkapkan hujjah akan kebenaran tauhid kepada mereka. Pada talwih untuk mencapai makna yang lazimnya, maka ia memerlukan wasaith (media) yang cukup banyak, makna yang dimaksud di dalamnya sendiri tidak diungkapkan.

Contoh ungkapan talwih dalam sebuah syi’ir.

وَمَا يَكُ فِيَّ مِنْ عَيْبٍ فَإِنَّى # جَبَانُ الكَلْبِ مَهْزُوْلُ الْفَصِيْلِ

Artinya: “padaku tidak terdapat aib, Karena aku adalah orang yang selalu menghormat tetamu”.

Pada syi’ir tersebut terdapat ungkapan جَبَانُ الكَلْبِ dan مَهْزُوْلُ الْفَصِيْلِ”. Kedua ungkapan ini pada dasarnya menggunakan gaya bahasa kinayah. Kedua ungkapan ini bermakna seseorang yang mulia. Ungkapan جَبَانُ الكَلْبِ, mempunyai pengertian bahwa dia sering mencegah anjingnya menggonggong pada tetamu yang dating. Upaya ia mencegah anjingnya ini merupakan bentuk penghormatan pada tetamunya. Kebiasaan menghormat tetamu menunjukkan banyak sekali yang datang kepadanya. Dan banyak tetamu yang datang menunjukkan bahwa dia itu orang baik dan mulia.

Ungkapan ini merupakan kinayah. Adanya perpindahan makna dari haqiqi kepada arti yang lazimnya melalui beberapa wasaith (media) dinamakan kinayah talwih.

3.    Ima’ atau isyarah

Kinayah jenis ini merupakan kebalikan dari talwih. Didalam ima, perpindahan makna asal kepada makna lazimnya terjadi melalui media (wasaith) yang sedikit. Pada kinayah jenis ini, makna lazimnya tampak dan makna yang dimaksud juga dekat.

Contoh firman Allah Swt. Pada surah al-Kahfi ayat 43 :

فاصبح يقلب كفيه على ما انفق فيها وهي خاوية (الكهف : ٤٣)

Artinya: “maka ia membolak-balikkan kedua telapak tangannya terhadap apa yang ia infkkan, sedangkan telapak tangannya itu kosong”.

Pada ayat di atas terdapat ungkapan يقلب كفيه makna asal ungkapan tersebut adalah ‘membolak-balikkan kedua telapak tangannya’. Ungkapan tersebut merupakan ungkapan kinayah yang maksudnya menyesal. 

4.    Ramz 

Secara bahasa ramz berarti isyarah dengan dua bibir, dua mata, dua alis, mulut, tangan dan lisan. Isyarah-isyarah tersebut biasanya dengan cara tersirat. Sedangkan istilah, ramz adalah jenis kinayah dengan wasaaith yang sedikit dari lazimnya tersirat.

Contoh ungkapan kinayah ramz adalah :

فلان عريض القفا(lebar tengkuknya) dan عريض الوسادة (lebar bantalnya) sebagai kinayah untuk mengungkapkan orang idiot atau bodoh.

C.  Tujuan Kinayah

Jika seseorang ingin mengungkapkan sesuatu baik dalam bentuk fikiran atau perasaan, ia akan mengungkapkannya dengan kata-kata yang jelas dan mudah dipahami. Namun meningkatnya budaya manusia dan bergamnya lawan bicara seseorang, pada akhirnya mempengaruhi bentuk ekspresinya. Ungkapan bahasa dalam bentuk kinayah merupakan bagian dari dinamika penggunaan bahasa oleh manusia. Singkatnya, manusia seakan tidak lagi puas dengan lafadz-lafadz untuk makna haqiqinya.

Adapun tujuan pengungkapan kinayah ialah sebagai berikut:

1.    Menjelaskan(الإيضاح) .

2.    Memperindah makna)  (تحسين المعنى وتجميله

3.    Menjelekkan sesuatu  (تهزين الشيئ وتنفيره)

4.    Mengganti dengan kata-kata yang sebanding karena dianggap jelek (العدول للهجنة)

5.    Menghindari kata-kata yang dianggap malu untuk diucapkan (للعار)

6.    Peringatan akan kebesaran Alla SWT

7.    Untuk mubalaghoh (hiperbola)

8.    Untuk meringkat kalimat.[7]

 

 

 



[1] Mamat Zaenuddin, Yayan Nurbayan, Pengantar Ilmu Balaghah, Refika Aditama, Bandung, 2007, cet.1, hlm. 45,46.

[2] Syafi’i Karim, Fiqih-Ushul Fiqih, Pustaka Satia, Bandung,  2001, cet. 2, hlm. 177.

[3] Khamim, Ahmad Subakir, Ilmu Balaghah, STAIN Kediri Press, Kediri, 2009, cet.1, hlm. 148,149.

[4] Mamat Zaenuddin, Yayan Nurbayan, op. cit.

[5] Ibid, hlm. 47-54.

[6] Khamim, Ahmad Subakir, op. cit, hlm. 151.

[7] Mamat Zaenudin, Yayan Nurbayan, op. cit, hlm. 52-66.