Rabu, 13 Oktober 2021

KEGIATAN PENGEMBANGAN BUDAYA BACA

 

1.    Pendahuluan

Budaya baca atau kebiasaan membaca sudah merupakan suatu keharusan praktis (practical necessity) dalam dunia modern. Membaca sebagai aktivitas pribadi pada umumnya telah menjadi suatu kebutuhan pada masyarakat di negara-negara maju, tetapi tidak demikian halnya pada masyarakat di negara-negara berkembang seperti Indonesia. Di kebanyakan negara berkembang, dimana tingkat buta aksara (illiteracy) dan kurang terdidik (under educated) dalam masyarakat masih tinggi, kegiatan membaca belum menjadi kebutuhan sehari-hari.

Pengembangan budaya baca dalam sekolah tidak hanya ditentukan oleh keinginan dan sikap sekolah terhadap bahan-bahan bacaan, tetapi juga ditentukan oleh ketersediaan dan kemudahan akses terhadap bahan-bahan bacaan. Ketersediaan bahan-bahan bacaan berarti tersedianya bahan-bahan bacaan yang memenuhi, kebutuhan sekolah. Sedangkan kemudahan akses adalah tersedianya sarana dan prasarana dimana sekolah dapat dengan mudah memperoleh bahan bacaan dan informasi tentang bahan bacaan.

Ketersediaan dan kemudahan akses tersebut berkaitan erat dengan pelayanan perpustakaan. Perpustakaan sebagai lembaga perantara (agency) dalam proses komunikasi, berfungsi untuk menyediakan bahan-bahan bacaan (walaupun dalam jumlah terbatas); dan menyediakan sarana untuk pengaksesan informasi yang berkaitan dengan bahan-bahan bacaan. Sarana tersebut tidak hanya untuk mengakses bahan-bahan yang dimiliki oleh suatu perpustakaan tetapi juga untuk bahan-bahan yang lebih luas yang berada diluar suatu perpustakaan.

Bahan bacaan sebagai sumber informasi dan informasi tentang bahan bacaan (bibliografi) adalah muatan-muatan yang harus diangkut melalui jalan raya informasi (information highway) dimana perpustakaan-perpustakaan dan pusat-pusat informasi merupakan terminal-terminal dimana sekolah dapat memperoleh bahan-bahan dan informasi yang mereka butuhkan. Oleh karena itu, perpustakaan dan jaringan informasi merupakan infrastruktur yang harus disediakan dan dikembangkan, sama halnya seperti infrastruktur jalan raya dan terminal lainnya, agar informasi sebagai komoditi dapat tersedia secara luas.

 

2.   Kebiasaan Membaca sebagai Budaya

Membaca merupakan suatu proses komunikasi antara penulis dan pembaca. Dalam proses ini terdapat tiga elemen yang harus dipenuhi yaitu penulis (writer), karya tulis (piece of literature) dan pembaca (reader). Dalam proses ini perpustakaan bertindak sebagai perantara antara penulis dan pembaca.

Kebiasaan membaca adalah ketrampilan yang diperoleh setelah seseorang dilahirkan, bukan ketrampilan bawaan. Oleh karena itu kebiasaan membaca dapat dipupuk, dibina dan dikembangkan. Minat baca tanpa didukung oleh fasilitas untuk itu, tidak akan menjadi budaya baca.

Fungsi sosial dari kegiatan membaca sulit untuk didefinisikan tetapi aktivitas tersebut dapat dibedakan sebagai berikut: 1) achievement reading, yaitu sebagai upaya untuk memperoleh ketrampilan atau kualifikasi tertentu; 2) devotional reading, yaitu membaca sebagai suatu kegiatan yang berhubungan dengan ibadah; 3) culture reading; membaca sesuatu yang berhubungan dengan kebudayaan; dan 4) compensatory reading, membaca untuk kepuasan pribadi.

Akivitas membaca pada umumnya adalah untuk memperoleh manfaat langsung. Untuk tujuan akademik, rnembaca adalah untuk memenuhi tuntutan kurikulum sekolah. Di luar institusi formal, masyarakat rnembaca untuk tujuan praktis langsung, yang biasanya berhubungan dengan perolehan ketrampilan atau kualifikasi tertentu. Sebaliknya bacaan yang bersifat imajinatif tidak banyak dibaca.

Membaca memiliki keuntungan khusus dibandingkan dengan penggunaan media lain. Bahan cetakan akan terus menjadi saluran yang paling penting untuk pendidikan dan kemajuan kebudayaan manusia. Keuntungan tersebut antara lain: 1) membaca adalah suatu aktivitas pribadi yahg dapat meningkatkan pengembangan individu; 2) suatu bahan bacaan dapat dibaca dan dibaca kembali hingga pesan yang dikandungnya dapat diserapi dan 3) bahan bacaan dapat dibawa kemana, saja, apakah pembaca sedang berada di eskalator atau suatu pulau pasir.

3.    Pengembangan Budaya Baca melalui Perpustakaan

Perpustakaan sebagai lembaga perantara (agency) yang sangat penting dalam proses komunikasi, dapat memainkari peranan yang lebih besar dalam upaya pengembangan budaya baca masyarakat. Perpustakaan berdiri karena adanya kebutuhan akan suatu lembaga yang berfungsi untuk mengumpulkan dan mengorganisasikan karya-karya penulis untuk disebarluaskan kepada para pembaca. Peran ini melibatkan pustakawan dalam dunia komunikasi.

Sasaran setiap perpustakaan dalam pengembangan budaya baca sesuai dengan lingkungan dimana perpustakaan itu berada. Perpustakaan sekolah melayani siswa dan guru di lingkungan suatu sekolah, perpustakaan umum melayani masyarakat suatu wilayah/daerah tertentu, perpustakaan perguruan tinggi melayani sivitas akademika suatu perguruan tinggi, dan perpustakaan khusus melayani staf di lingkungan instansi induknya. Kerjasama perpustakaan akan menyatukan sernua sumberdaya yang dimiliki oleh semua jenis perpustakaan ini, sehingga menjadi suatu kekuatan informasi nasional.

Setiap perpustakaan bertangggung-jawab terhadap pengembangan budaya baca di lingungannya masing-masing, baik secara sendiri-sendiri maupun bekerjasama dengan pihak lain. Jika kebiasaan membaca masyarakat yang menjadi sasaran pelayanannya masih rendah, perpustakaan harus memikirkan dan menyusun rencana strategis untuk memperbaiki keadaan tersebut. Rencana ini kemudian diterjemahkan ke dalam program-program konkrit untuk dilaksanakan dan dievaluasi hasilnya.

 

4.    Lingkungan Sekolah

Di kebanyakan sekolah-sekolah, peserta didik berharap guru-guru mereka menyediakan semua bahan-bahan pelajaran, dan buku-buku tidak digunakan untuk memperoleh keterangan atau informasi secara individu. Guru-guru jarang memberikan tugas, yang mengarah pada usaha untuk mendapatkan informasi melalui kegiatan membaca secara individu, kepada peserta didik. Hal ini tidak sepenuhnya menjadi kesalahan guru, tetapi kemungkinan karena tidak tersedianya atau terbatasnya fasilitas yang dimiliki oleh perpustakaan sekolah.

Jika keadaan seperti itu terus berlangsung tanpa adanya usaha perbaikan dikhawatirkan budaya baca pada masyarakat kita akan sulit berkembang. Sikap peserta didik terhadap bacaan akan berkembang ke luar sekolah, dan keadaan ini tentu tidak mendukung atau mengarah pada pertumbuhan kebiasaan membaca secara luas di dalam masyarakat.

Untuk mengatasi hal seperti itu, perlu dilakukan perbaikan antara lain: dengan memperbaiki sistem pendidikan yang mengarah ketika membaca di sekolah; dan memperbaiki fasilitas dan karakteristik pelayanan perpustakaan sekolah oleh sekolah masing-masing. Setiap instansi atau lembaga yang membiayai penyelenggaraan sekolah harus membuat kebijakan yang berkaitan dengan kedua hal tersebut. Salah satu kebijakan yang terpenting, dan mungkin yang pertama harus dilakukan adalah, menetapkan persentase jumlan anggaran belanja untuk perpustakaan yang harus dikeluarkan dari anggaran belanja sekolah, misalnya sebesar 2 atau 3 persen setiap tahun.

 

4.    Kegiatan Pengembangan Budaya Baca MI NU Mawaqi’ul Ulum

MI NU Mawaqi’ul Ulum adalah salah satu madrasah yang serius mengembangkan minat baca siswa-siswinya. Sejak tahun 2001, madrasah ini telah memulai pembinaan minat baca siswa dengan pengadaan koleksi bahan bacaan, program promosi perpustakaan 

Saat ini, kebiasaan dan kecintaan membaca para siswa-siswi telah mulai tumbuh. Hal ini bisa dilihat dari banyaknya siswa-siswi yang mengguna-kan waktu luangnya di sekolah dengan membaca buku-buku yang tersedia di sudut baca di kelas, buku-buku yang diletakkan di lorong-lorong sekolah, dan di perpustakaan.

Mengelola program budaya baca tidaklah mudah. Program ini tidak bisa dilakukan secara instan. Pengalaman kami, program budaya baca harus disiapkan dengan baik, dilaksanakan secara cermat dan dikembangkan terus menerus. Pengembangan budaya baca MI NU Mawaqi’ul Ulum diantaranya:

A. Perencanaan

Program dilakukan secara bertahap dan berkala. Tahap pertama berupa penyiapan tim, program, sarana, dan buku dengan melibatkan kerja sama semua komponen. Tim program budaya baca terdiri dari pembina program (kepala madrasah), ketua, sekretaris, koordinator sarana, kegiatan, dan publikasi. Semua pihak seperti siswa, guru, kepala sekolah, orang tua, hingga instansi dan lembaga-lembaga harus terlibat dalam proses perencanaan. Tim inilah yang  mengkoordinir keterlibatan semua pihak, menyusun rencana kegiatan dan memasukkan kebutuhan dana ke anggaran sekolah.

Setelah tim terbentuk, tim segera belajar dari berbagai sekolah yang telah lebih dulu menerapkan budaya baca. Sekolah kami belajar dari sekolah lain. Kami juga belajar bagaimana mengelola karya tulis siswa seperti portofolio dan resensi yang dapat dipakai untuk mengkreasi karya siswa dari hasil membaca. 

Kami membahas apa saja yang perlu disiapkan sebelum program budaya baca dilakukan, seperti kebutuhan sudut baca, ketersediaan buku, penjadwalan kegiatan membaca dan lainnya. Penjadwalan kegiatan disesuaikan dengan kalender akademik. Pelaksanaan gerakan membaca ini dilakukan berkala dalam dua semester dan satu tahun pelajaran.

B. Memulai

Tahap kedua adalah memulai pelaksanaan program. Kami mulai dengan pengadaan sudut baca dengan sumber buku dari siswa bekerja sama dengan wali kelas. Kami membuat sudut baca di teras perpustakaan. Pembiasaan membaca senyap 15 menit di awal pembelajaran segera diterapkan. Pembiasaan membaca ini melibatkan partisipasi guru dan kepala madrasah. Kami juga meminta kepada orangtua untuk terlibat dalam pembiasaan membaca di rumah. Dalam hal ini, sistem koordinasi dan pengawasan semua pihak sangat penting dalam merealisasikan program. 

C. Pelaksanaan Program dan Pengembangan

Pemerintah republik Indonesia melalui peraturan menteri pendidikan telah berusaha untuk meningkatkan budaya membaca bagi siswa-siswi di semua jenjang sekolah dari dasar hingga menengah atas. Peraturan tersebut dikemas dalam wadah Kurikulum 2013 yang telah disempurnakan melalui berbagai revisi. Penekanan membudayakan literasi telah menjadi sendi dari penerapan proses pembelajaran yang tertulis jelas pada perangkat pembelajaran (RPP).

Selain itu, pembiasaan membaca juga diterapkan pada  jam di luar jam pembelajaran, yaitu 15 menit sebelum jam pembelajaran dimulai. Pembiasaan tersebut tertuang pada Permendikbud Nomor 23 Tahun 2015. Namun, untuk menyukseskan rencana besar itu, dibutuhkan suatu pembiasaan yang harus terus menerus dilakukan sejak usia dini dan dibutuhkan konsistensi yang sangat besar.

Penerapan pembiasaan budaya membaca sejak dini di era kemajuan teknologi yang sangat pesat ini menghadapi tantangan yang sangat berat. Pola asuh orang tua yang memberikan gawai kepada anaknya dikarenakan anak mencontoh perilaku orang tua yang tidak bisa lepas dari gawai, menjadikan anak kurang bisa peduli dengan lingkungan di sekitar. 

Otomatis, hal ini menjadikan peran guru sebagai pihak yang seharusnya mampu mengontrol kecanduan peserta didik terhadap gawai. Jika kita coba menanyakan kepada anak usia MI untuk memilih satu di antara dua pilihan; yaitu antara buku bacaan atau gawai, pasti mereka lebih banyak yang memilih gawai untuk menghabiskan waktunya. Meski juga pemerintah telah menyiasati dengan memanfaatkan gawai sebagai media edukasi, akan tetapi anak lebih cenderung untuk memilih permainan yang jauh lebih seru bagi mereka.

Dikutip dari kompas.com, berdasarkan data dari UNESCO, persentase minat baca anak Indonesia sebesar 0,01 persen. Artinya, dari 10.000 anak bangsa, hanya satu saja yang memiliki minat baca. Tentu data tersebut sangat memprihatinkan. Dibandingkan dengan Negara lain, Negara maju setiap penduduknya membaca 20 hingga 30 judul buku setiap tahunnya. Sebaliknya di Indonesia, penduduknya hanya membaca paling banyak tiga judul buku dan itupun masyarakat usia 0-10 tahun.

Minimnya minat baca masyarakat Indonesia bisa berdampak negatif bagi mereka sendiri juga bagi kemajuan Indonesia. Dampak negatif bagi individu yang tidak gemar membaca salah satunya adalah mudah percaya dengan berita hoaks hingga informasi yang bersifat fitnah. Maraknya penyebaran berita hoaks di Indonesia sudah menjadi santapan setiap hari di berbagai media sosial. Bagi anak usia SD lebih parah lagi, mereka tidak akan bisa memiliki imajinasi tentang harapan dan cita-cita yang seharusnya mereka miliki dengan pengetahuan dari membaca buku. Di tambah perilaku anak yang lebih suka melihat acara televisi, bermain gawai, game online, serta permainan lainnya yang bisa menurunkan minat baca dan belajar di usia mereka. Apa jadinya 45 tahun di masa yang akan datang jika masalah ini tidak bisa diatasi dengan baik.

Buku sebagai jendela dunia, sudah nyata memberikan banyak manfaat bagi pembacanya. Jika tubuh kita harus mengonsumsi makanan yang menyehatkan agar tetap hidup, maka otak juga perlu mengonsumsi agar tetap kuat dan sehat seperti organ tubuh yang lainnya. Apa yang harus dikonsumsi otak? Adalah bacaan sehat yang harus dikonsumsi oleh otak. Dengan membaca beberapa menit, dapat membantu menekan perkembangan hormon stress seperti hormone kortisol. 

Dengan membaca dapat mencegah penyakit Alzheimer, demensia dan dapat membantu menurunkan tingkat stress hingga 67% (manfaat.co.id). bagi anak usia SD tentunya dengan jumlah sel otak yang masih bagus dan mudah menyerap informasi bisa sangat bermanfaat. Selain menyehatkan otak, membaca juga bisa menambah wawasan dan pengetahuan, menambah kosakata dan meningkatkan kualitas memori ingatan pada otak.

Dari dampak negatif akibat kurang minatnya siswa dalam membaca dan juga banyak manfaat dari kegiatan membaca buku, diharapkan guru SD bisa menanamkan pengertian terhadap para siswa tentang manfaat membaca buku. Agar para siswa menjadi lebih gemar membaca. Tentunya selain memberikan pengertian terhadap para siswa, guru juga harus mampu memberikan pengertian terhadap orang tua siswa agar turut aktif menanamkan kebiasaan membaca buku anaknya ketika di rumah. Untuk menumbuhkembangakan minat baca, cara berikut mungkin bisa diterapkan terhadap anak baik di rumah maupun di sekolah:

                       1.          Memberikan contoh

Seorang guru harus bisa memberikan contoh kegemaran membaca buku kepada para siswa. Entah itu ketika di sela-sela jam mengajar, istirahat atau saat jam sekolah telah berakhir. Memberikan contoh ini lebih efektif daripada menyuruh memaksa anak untuk harus membaca buku di setiap harinya. Dengan memberikan contoh membaca di setiap kesempatan, secara tidak langsung para siswa memperhatikan tindakan guru dan ketika siswa sudah penasaran, pasti dengan mudah siswa bisa kita ajak untuk membaca buku.

                       2.          Menyisipkan cerita

Seorang guru harus bisa menyisipkan cerita yang sangat seru, atau menceritakan ulang cerita dari buku bacaan seusia anak SD di sela-sela proses pembelajaran. Penyisipan cerita bisa menjadi hal yang mengasyikkan bagi siswa, apalagi di saat jam pelajaran yang sulit dan jam-jam rawan mengantuk bagi siswa. Dengan pengalihan topik pelajaran menjadi cerita dan pemenggalan cerita di bagian yang seru, bisa membuat rasa penasaran bagi siswa sehingga mereka akan mencarinya pada buku yang telah diberitahukan oleh guru.  

                       3.          Mampu menginspirasi dan memotivasi

Seorang guru harus bisa menginspirasi siswa. Inspirasi bisa didapatkan dari buku bacaan. Buku biografi pahlawan misalnya. Dengan nada optimis, sampaikan kalimat-kalimat motivasi yang pernah diungkapkan oleh tokoh-tokoh Indonesia maupun luar negeri. Tunjukkan nama-nama tokoh hebat tersebut, serta jasa apa saja yang telah ditorehkan untuk kebermanfaatan bagi umat manusia. Dan usahakan hindarkan motivasi yang berupa gombalan perjuangan dalam menggapai cinta. Karena, masalah cinta terhadap lawan jenis bisa disalah artikan oleh siswa MI.

                       4.          Membuat grup baca

Setelah ada ketertarikan siswa terhadap membaca buku, buatlah grup baca buku di sekolah. Luangkan waktu sepulang sekolah selama 1 atau 2 jam untuk menjelajahi perpustakaan di sekolah. Dampingi siswa dalam membaca buku. Libatkan diri anda dengan mereka dalam diskusi kecil atau meminta siswa untuk menceritakan kembali buku bacaan yang telah dibaca.

                       5.          Ajak berkarya

Untuk lebih menambah kegemaran siswa dalam membaca buku, ajaklah mereka untuk berkarya. Tentu bagi siswa yang sudah gemar mebaca, pastinya mereka akan memiliki keinginan untuk menulis juga. Tantang siswa untuk menulis karangan bebas. Dengan tanpa menggurui, galilah pemikiran ide-ide kreatif siswa dalam menulis. Setelah berhasil menyelesaikan penulisan cerita, tingkatkan lagi mental siswa, dengan cara mengikutkan siswa dalam berbagai lomba kepenulisan.

Peran orang tua, guru serta masyarakat sangat berpengarh besar terhadap budaya membaca bagi putra-putri penerus bangsa. Jangan sampai salah mendidik anak. Karena anak merupakan asset paling berharga bagi maju-mundurnya suatu bangsa, terutama bangsa Indonesia. "Bacalah! Bukan bakarlah!" ucap Pramoedya Anantatoer.

 

                                                                                        

Tidak ada komentar:

Posting Komentar