I.
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Sejak wafatnya
Nabi Muhammad SAW kaum muslimin sudah mulai menghadapi perpecahan. Tetapi
perpecahan itu menjadi reda, karena terpilihnya Abu Bakar menjadi khalifah.
Setelah beberapa lamanya Abu Bakar menduduki jabatan kekhalifahan, mulai tampak
kembali perpecahan yang disebarkan oleh orang-orang yang murtad dari Islam dan
orang-orang yang mengumumkan dirinya menjadi nabi, seperti Musailamatul Kadzab,
Thulaihah, Sajah, dan Al-Aswad Al-Ansy. Di samping itu juga ada
kelompok-kelompok lain yang tidak mau membayar zakat kepada Abu Bakar. Padahal
dahulunya mereka semua taat dan disiplin membayar zakat pada Nabi. Akan tetapi
semua perselisihan itu segera dapat diatasi dan dipersatukan kembali, karena
kebijaksanaan khalifah Abu Bakar. Maka selamatlah kekuasaan Islam yang muda itu
dari ancaman fitnah dari musuh-musuh Islam yang hendak menghancur-leburkannya.
Kemudian
perjalanan kekhalifahan Abu Bakar As-Shidiq, Umar Ibnu Khattab, dan Utsman Ibnu
Affan tidak begitu menghadapi persoalan, bahkan terjalin persaudaraan yang
mesra dan akrab. Pada masa ketiga khalifah itulah dipergunakan kesempatan yang
sebaik-baiknya mengerahkan semua tenaga kaum muslimin untuk menyiarkan dan
mengembangkan Islam ke seluruh penjuru dunia. Tetapi setelah Islam meluas ke
Afrika, Asia Timur, bahkan Asia Tenggara tiba-tiba diakhir khalifah Utsman,
terjadi suatu persoalan yang ditimbulkan oleh tindakan Utsman yang oleh
sebagian orang islam dianggap kurang mendapat simpati dari sebagian kaum
muslimin.
Kebijakan khalifah
Utsman yang dianggap tidak sesuai dengan kebutuhan umat pada saat itu,
diantaranya adalah kurang pengawasan dan pengangkatan terhadap beberapa pejabat
penting dalam pemerintahan (para eksekutif) di lapangan tidak bekerja secara
maksimal, diperparah lagi dengan adanya sikap nepotisme dari keluarganya.
Utsman banyak menempatkan para pejabat tersebut dari kalangan keluarganya,
sehingga banyak mengundang protes dari kalangan umat Islam. Dan sebenarnya hal
ini bisa dimaklumi karena memang keluarga Utsman adalah keluarga orang-orang
yang pandai. Namun inilah bermulanya fitnah yang membuka kesempatan orang-orang
yang berambisi menggulingkan pemerintahan Utsman.
Karena derasnya arus fitnah ini sehingga mengakibatkan terbunuhnya
Sayyidina Utsman bin Affan. Setelah itu makan Ali bin Abi Thalib terpilih dan
diangkat menjadi khalifah, tetapi dalam pengangkatan tidak memperoleh suara
yang bulat, karena ada golongan yang tidak menyetujui pengangkatan itu. Bahkan
ada yang terang-terang menentang pengangkatan tersebut sekaligus menuduh bahwa
Ali campur tangan atau sekurang-kurangnya membiarkan komplotan pembunuhan
terhadap Utsman. Sejak itulah berpangkalnya perpecahan umat Islam, hingga
menjadi beberapa partai atau golongan. Diantaranya sebagai berikut :
Kelompok yang
setuju dengan pengangkatan Ali sebagai khalifah. Kelompok yang pada awalnya
patuh dan setuju, tetapi kemudian setelah terjadi perpecahan, menjadi golongan
yang netral. Mereka berpendidikan, tidak mau mengikuti dan taat pada Ali, tidak
pula memusuhi Ali. Karena mereka berkeyakinan bahwa keberpihakan kepada salah
satu dari golongan tersebut tidak berakibat baik.
Kelompok yang
jelas-jelas menentang Ali secara terbuka adalah Thalhah bin Abdullah, Zubir bin
Awam, Aisyah binti Abu Bakar. Semuanya ini bersatu dan sepakat menjadikan
Aisyah sebagai komandan untuk menggulingkan khalifah Ali. Mereka menyusun
tentara lalu menduduki Basrah, pegawai-pegawai Ali di Basrah dibunuh,
pembendaharaan dirampas. Sebab itu Ali pun dengan membawa pasukan yang
dipimpinnya sendiri menuju Basrah, dan akhirnya terjadilah pertempuran hebat.
Thalhah dan Zubir terbunuh, Aisyah tertangkap dan dipulangkan ke Medinah.
Peperangan ini dinamakan perang jamal (unta), sebab Aisyah memimpin pertempuran
itu dari atas unta. Dari tentara Aisyah banyak yang melarikan diri dan menggabungkan
diri dengan tentara Mu’awiyah di Syam yang sama-sama menentang Ali. Terjadilah
peperangan antara Mu’awiyah dan Ali, hingga pertempuran Shiffin, yaitu perang
terakhir antara Ali dan Mu’awiyah.
Ada golongan umat
Islam yang memisahkan diri dari tentara Ali yang dikenal dengan kaum khawarij,
mereka tidak setuju dengan gencatan senjata dan perundingan antara Mu’awiyah
dan Ali. Mereka ini dihancurkan pula oleh Ali, sehingga bercerai-berai.
Sebenarnya khawarij ini pada mulanya sungguh-sungguh membela kepentingan agama.
Mereka menuduh Ali tidak tegas dalam mempertahankan kebenaran, sedang Mu’awiyah
adalah penentang kebenaran, jadi mereka memisahkan diri dari kedua kelompok
tersebut. Ia merasa mempunyai hak untuk menentang pemerintahan mana saja yang
tidak jujur. Dengan alasan-alasan itulah, khawarij menentang Ali dan Mu’awiyah.
Demikianlah
golongan-golongan politik yang timbul di masa Khalifah Ali. Kemudian sesudah
Ali, timbullah beberapa kelompok atau aliran ilmu kalam (aliran tentang aqidah)
yang diakibatkan oleh timbulnya golongan-golongan tersebut di atas. Yaitu :
Syi’ah, Qadariyah, Jabariyah, Murji’ah, Karamiyah, Khawarij dan sebagainya.
Dari sini penulis mencoba memaparkan tema yang berjudul “Aliran Murji’ah,
Qadariyah, Maturidiyah, Asy’ariyah dan Doktrin Teologinya” sesuai dengan tugas yang
dibebankan kepada penulis.[1]
B. Rumusan Masalah
Adapun yang
menjadi rumusan masalah antara lain :
1.
Apa yang dimaksud dengan aliran Asy’ariyah dan bagaimana doktrin
teologinya ?
2.
Apa yang dimaksud dengan aliran Maturidiyah dan bagaimana doktrin
teologinya ?
3.
Apa yang dimaksud dengan aliran Qodariyah dan bagaimana doktrin
teologinya ?
4.
Apa yang dimaksud dengan aliran Murji’ah dan bagaimana doktrin teologinya ?
II. PEMBAHASAN
A. Aliran Asy’ariyah
Riwayat Singkat Al-Asy’ari
Nama lengkap Al-Asy’ari adalah Abu Hasan Ali
bin Isma’il bin Ishaq bin Salim bin Isma’il bin Abdullah bin Musa bin Bilal bin
Abi bin burdah bin Abi Musa Al-Asy’ari.menurut beberapa riwayat Al-Asy’ari
lahir di Bashrah pada tahun 260 H/ 875 M. ketika berusia lebih dari 40 tahun ia
hijrah ke kota baghdad dan wafat di sana pada tahun 324 H/ 935 M.[2]
Menurut Ibn Asakir, Ayah Al-Asy’ari adalah
seseorang yang berfaham Ahlussunnah dan Ahli Hadits. Ia wafat ketika Al-Aya’ari
masih kecil. Sebelum wafat, ia berwasiat kepada seorang sahabatnya yang bernama
Zakariyah bin Yahya As-Saji agar mendidik Al-Asy’ari. Ibu Al-Asy’ari
sepeninggalan ayahnya, menikah kembali dengan seorang tokoh mu’tazillah yang
bernama Abu Ali Al-Jubba’i(wafat. 321 H/915 M). berkat didikan ayah tirinya
itu, Al-Asy’ari kemudian menjadi toko Mu’tazillah. Ia sering menggantikan
Al-Jubba’I dalam perdebatan menentang lawan-lawan Mu’tazillah. Selain itu
banyak menulis buku yang membela alirannya.
Al-Asy’ari menganut faham Mu’tazillah hanya
sampai usia 40 tahun. Setelah itu tiba-tiba ia mengumumkan di hadapan jama’ah
masjid Bashroh bahwa dirinya telah meninggalkan faham Mu’tazillah dan
menunjukkan keburukan-keburukannya. Menurut Ibn Asakir, yang melatar belakangi
Al-Asy’ari meninggalkan faham Mu’tazillah asalah pengakuan Al-Asy’ari telah
bermimpi bertemu denga Rosullullah SAW. Sebanyak tiga kali, yaitu pada malam
ke-10, 20, dan 30 bulan Ramadhan. Dalam tiga mimpinya itu Rosullullah
memperingakannya agar meninggalkan faham Mu’tazillah dan membela faham yang
telah diriwayatkan dari beliau.[3]
Doktrin – doktrin Teologi Al-Asy’ari
Formulasi pemikiran Al-Asy’ari, secara
esensial, menampilkan sebuah upaya sintesis antara formulasi ortodoks ekstrim
di satu sisi dan Mu’tazilah disisi lain. Dari segi etosnya, pergerakan tersebut
memiliki semangat ortodoks. Aktualitas formulasinya jelas menampilkan sifat
yang reaksionis terhadap Mu’tazillah, sebuah reaksi yang tidak dapat
dihindarinya. Corak pemikiran yang sintetis ini, menurut Watt, barangkali
dipengaruhi teologi Kullabiah (teologi sunni yang dipelopori oleh kullab
(wafat. 854 M).
Pemikiran-pemikiran Al-Asy’ari yang terpenting
adalah berikut ini:
1.Tuhan dan
sifat-sifatnya
Dari beberapa ayat Al-qur’an, jelas disebut bahwa Tuhan itu Alim,
mengetahui dengan pengetahuannya. Bukan dengan dzat-Nya, dan mustahil Tuhan itu
merupakan pengetahuan. Disini terlihat Al-Asy’ari menetapkan sifat sama dengan
kalangan salaf, namun cara penafsirannya berbeda. Kaum salaf hanya menetapkan
sifat kepada Tuhan sebagaimana dalam teks ayat, tanpa melakukan pembahasan.
Bagi Al’Asy’ari, arti sifat berbeda dengan makna dzat tetapi bukan pula lain
dari dzat. Pemaknaan semacam ini seperti tidak jauh berbeda dengan ungkapan
kaum mu’tazilah. Bagi mereka sifat sama dengan dzat. Jika dikatakan bahwa Tuhan
mengetahui (Alim), maka ini artinya menetapkan pengetahuan bagi Allah, dan yang
mengetahui itu adalah dzat-Nya. Dan penetapan ini hanya digunakan untuk
menjelaskan bahwa Allah (Tuhan) itu tidak jahil.[4]
Perbedaaan pendapat dikalangan mutakalimin
mengenai sifat-sifat Allah tak dapat dihadapkan pada dua pendangan
ekstrim. Disatu pihak dia berhadapan dengan kelompok mujassimah (antropomorfis)
dan kelompok musabbihah yang berpendapat bahwa Allah mempunyai
semua sifat yang disebut dalam Al-Qur’an dan sunnah dan sifat-sifat itu harus
difahami menurut arti harfiahnya. Dilain pihak, ia berhadapan dengan kelompok
Mu’tazillah yang berpendapat bahwa sifat-sifat Allah tidak lain selain
esensi-Nya. Adapun tangan, kaki, telinga Allah atau Arsy atau kursi tidak boleh
diartikan secara harfiah melainkan harus dijelaskan secara alegoris.
Menghadapi semua kelompok tersebut, Al-Asy’ari
berpendapat bahwa Allah memang memiliki sifat-sifat itu, seperti mempunyai
tangan dan kaki dan itu tidak boleh diartikan secara harfiah, malainkan secara
simbolis (berbeda dengan kelompok sifatiah). Selanjutnya Al-Asy’ari berpendapat
bahwa sifat-sifat Allah itu unik sehingga tidak dapat dibandingkan dengan
sifat-sifat manusia yang tampak mirip. Sifat-sifat Allah berbeda dengan Allah
sendiri, tetapi sejauh menyangkut realitasnya (haqiqah) tidak terpisah dari
esensia-Nya. Dengan demikian, tidak bereda dengan-Nya.
2.Kebebasan
dalam berkehandak (Free-Will)
Dalam hal apakah manusia memiliki kemampuan
untuk memilih, menentukan, serta mengaktualisasikan perbuatannya? Dari dua
pendapat ekstrim yakni, Jabariyah yang fatalistik dan menganut faham
paradeterminisme semata-mata dan Mu’tazillah yang menganut faham kebebasan
mutlak dan berpendapat bahwa manusia menciptakan perbuatannya sendiri.
Al-Asy’ari membedakan antara kholiq dan kasb. Menurutnya
Allah adalah pencipta (kholiq) perbuatan manusia., sedangkan manusia sendiri
yang mengupayakannnya (muktasib). Hanya allah lah yang mampu menciptakan
segalah sesuatu (termasuk keinginan manusia).[5] Dengan
kekuasaan-Nya yang muthlak. Tuhan bisa saja memberikan petunjuk bagi siapa saja
yang fikehendaki atau sebaliknya. Ia juga berkuasa menyantuni orang-orang yang
kafir. Semua yang terjadi di alam ini atas kehendak dan ketetapan Allah.[6] Bertitik
tolak dari paham kekuasaan muthlak yang tak terbatas yang dimiliki tuhan,
Al’Asy’ari berpendapat bahwa Allah tidaklah salah kalau memasukkan seluruh
ummat manusia kedalam surga, termasuk orang-orang kafir. Dan juga sebaliknya,
tidak bisa dikatakan tuhan itu dzalim, jika Ia memasukkan seluruh ummat manusia
ke dalam neraka.[7]
3.Akal dan Wahyu
dan kriteria baik dan buruk
Walaupun Al-Asy’ari dan orang-orang Mu’tazillah
pentingnya akal dan wahyu, tetapi mereka berbeda dalam menghadapi permasalahan
yang memperoleh penjelasan kontradiktif dari akal dan wahyu. Al-Asy’ari
mengutamakan wahyu sedangkan Mu’tazillah mengutamakan akal.
Dalam menentukan baik dan burukpun terjadi
perbedaan pendapat di antara mereka. Al-Asy’ari berpendapat bahwa baik dan
buruk harus berdasarkan wahyu, sedangkan Mu’tazillah berdasarkan akal.
4.Melihat Allah
Al-Asy’ari tidak sependapat dengan kelompok
ortodoks ekstrim, terutama Zahiriyah, yang menyatakan bahwa Allah dapat dilihat
di Akhirat dan mempercayai bahwa Allah besemayam di Arsy. Selain itu, ia tidak
sependapat dengan Mu’tazillah yang mengingkari ru’yatullah (melihat
Allah) di Akhirat. Al-Asy’ari yakin bahwa Allah dapat dilihat di Akhirat,
tetapi tidak dapat digambarkan, kemungkinan ru’yat dapat terjadi manakala Allah
sendiri yang menyebabkan dapat dilihat atau bilamana ia menciptakan
kemampuan penglihatan manusia untuk melihat-Nya.
5.Kedudukan
orang berdosa
Al-Asy’ari
menolak ajaran posisi menengah yang dianut Mu’tazillah. Mengingat kenyataannya
bahwa iman merupakan lawan dari kafir, predikat bagi seseorang haruslah salah
satu di antaranya. Jika tidak mu’min, ia kafir. Oleh karena itu, Al-Asy’ari
berpendapat bahwa mukmin yang berbuat dosa besar adalah mukmin yang fasik,
sebab iman tidak mungkin hilang karena dosa selain kufur.[8]
B. Aliran
Maturidiyah
Riwayat Singkat
Al – Maturidi
Abu Mansur
Al-Maturidi di lahirkan di Mutarid,sebuah kota kecil di daerah Samarkand,
wilayah Trmsoxiana di Asia Tengah, daerah yang sekarang di sebut Uzbekistan.
Tahun kelahirannya tidak di ketahui secara pasti, hanya dipastikan sekitar
pertengehan abad ke-3 Hijriah. Ia wafat pada tahun 333 H/944 M. Gurunya dalam
bidang fiqih dan teologi bernama Nasyr bin Yahya Al – Balakhi. Ia wafat pada
tahun 28 H. Al-Maturidi hidup pada masa khalifah Al-Mutawakil yang memerintah
tahun 232-274 H/847-861 M.[9]
Karir
pendidikan Al-Maturidi lebih dikonsentrasikan untuk menekuni bidang biologi
dari pada fiqih. Ini dilakukan utuk memperkuat pengetahuan dalam menghadapi
faham-faham teologi yang banyak berkembang dalam masysrakat Islam, yang di
pandangnya tidak sesuai dengan kaidah yang benar menurut akal dan syara.[10] Pemikiran-pemikirannya banyak dituangkan dalam
bentuk karya tulis, diantaranya ialah Kitab Tauhid, Ta’wil Aq Quran Makhaz
Asy Syara’i , Al-Jadl, Ushul fi Ushul Ad-Din, Maqalat fi Al-Ahkam Radd Awa’il
Al-Abdillah li Al-Ka’bi, Radd Al-Ushul Al-Khamisah li Abu Muhammad Al-Bahili,
Radd Al-Imamah li Al-Ba’ad Ar-Rawafid, Dan Kitab Radd ‘Ala Al-Qaramatah. Selain
itu ada katrangan-karanga lian yang diduga ditulis olehnya, yaitu Risalah fi
Al-Aqaid Dan Syarh Fiqh Al-Akbar.[11]
Doktrin –
doktrin Teologi Al – Maturidi
1.Akal dan
Wahyu
Dalam pemikiran
teologinya, Al-Maturidi mendasarkan pada Al-Quran dan akal. Dalam hal ini ia
sama dengan Al-Asy’ari. Menurut Al-Mauridi, mengetahui Tuhan danKewajiban
Mengetahui Tuhan dapat diketahui dengan akal. Kemampuan akal dalam kedua hal
tersebut sesuai dengan ayat-ayat Al-Quran yang memerintahkan agar manusia
menggunakan akal dalam uasha memperoleh pengetahuan dan keimananya terhadap
Allah melalui pengamatan dan pemikiran yang mendalam tentang makhluk
ciptaan-Nya. Kalau akal tidak mampu untuk memperoleh pengetahuan tersebut,
tentunya Allah tidak akan memerintahkan manusia untuk melakukannya. Dan orang
yang tidak mau menggunakan akal untuk memperolah iman dan pengetahuan mengenai
Allah berarti meninggalkan kewajiban yang diperintahkan ayat-ayat tersebut.
Namun akal, menurut Al-Maturidi, tidak mampu mengetahui kewajiban-kewajiban
lainnya.
Dalam masalah baik dan buruk, Al-Maturidi
berpendapat bahwa penentu baik dan buruknya sesuatu itu terletak pada suatu itu
sendiri, sedang perintah atau larangan syari’ah hanyalah mengikuti ketentuan
akal mengenai baik dan buruknya sesuatu. Ia mengakui bahwa akal tidak selalu
mampu membedakan yang baik dan yang buruk, namun terkadang pula mampu
mengetahui sebagian baik dan buruknya sesuatu. Dalam kondisi demikian, wahyu
diperlukan untuk dijalankan sebagai pembimbing.
Al-Maturidi membagi kaitan sesuatu dengan akal
pada tiga macam, yaitu:
a. Akal dengan sendirinya hanya mengetahui
kebaikan suatu itu.
b. Akal dengan sendirinya hanya mengetahui keburukan
suatu itu.
c. Akal tidak mengetahui kebaikan dan keburukan
sesuatu itu, kecuali
dengan petunjuk ajaran wahyu.
Tentang mengetahui kebaikan atau keburukan
suatu dengan akal, Al-Maturidi sependapat dengan Mu’tazilah. Hanya saja kalau
Mu’tazilah mengatakan bahwa perintah bahwa melakukan yang baik dan meninggalkan
yang buruk itu didasarkan pada akal, Al-Maturidi mengatakan bahya kewajiban
tersebut harus diterima dari ketentuan wahyu saja. Dalam persoalan ini
Al-Maturidi , berbeda pendapat dengan Al-Asy’ari. Menurut Al-Asy’ari ,
baik atau buruk itu tidak terdapat pada suatu itu sendiri. Suatu itu dipandang
baik karena perintah syara dan dipandang buruk karena dilarang syara. Jadi yang
baik itu baik karena di perintah Allah dan yang buruk itu buruk karena larangan
Allah. Pada konteks ini Al-Maturidi berada pada posisi tengah dari
Mu’tazilah dan Al-Asy’ari.
2.Perbuatan
manusia
Menurut Al-Maturidi perbuatan manusia adalah
ciptaan Tuhan karena segala sesuatu dalam wujud ini adalah ciptaan-Nya. Khusus
mengenai perbuatan manusia, kebijaksanaan dan kedilan kehendak Tuhan
mengharuskan menusia memiliki kemampuan berbuat (ikhtiar) agar kewajiban
- kewajiban yang di bebankan kepanya.
Dalam
hal ini, Al-Maturidimempertemukan antara ikhtiar sebagai perbuatan
manusia dan qudrad Tuhan sebagai pencipta perbuatan manusia. Tuhan
menciptakan daya (kasb) dalam diri manusia dan manusia bebas memakainya.
Daya-daya tersebut di ciptakan bersamaan dengan perbuatan manusia. Denagan
demikian tidak ada pertentangan antara qudrad Tuhan yang menciptakan
perbuatan manusia dan ikhtiar yang ada pada manusia. Kemudian karena
daya ciptaan dalam diri manusia dan perbuatan yang di lakukan adalah perbuatan
manusia sendiri dalam arti yang sebenarnya, maka tentu daya itu juga daya
manusia. Berbeda dengan Al-Maturidi, Al-Asy’ari megatakan bahwa daya tersebut
adalah daya Tuhan karena ia memandang bahwa perbuatan manusia adalah perbuatan
Tuhan. Berbeda pula dengan Mu’tazilah yang memandang daya sebagai daya manusia
yang telah ada sebelum perbuatan itu sendiri.
Dalam masalah pemakaian daya ini, membawa faham
Abu , yaitu adanya Masyiah (kehendak)dan ridho (kerelaan). Kebebasan
manusia dalam melakukan perbuatan baik atau buruk tetap berada dalam kehendak
Tuhan, tetapi ia dapat tetap memilih yang diridho-Nya atau tidak diridho-Nya.
Manusia berbuat baik Al-Maturidi atas kehendak dan kerelaan Tuhan, dan berbuat
buruk juga atas kehendak Tuhan, tetapi tidak atas kerelaan-Nya. Dengan demikian
berarti manusia dalam faham Al-Maturidi tidak sebebas manusia dalam faham
Mu’tazilah.
3.Kekuasaan dan
Kehendak Mutlak Tuhan
Telah diuraikan di atas bahwa perbuatan manusia
dan segala sesuatu dalam wujud ini, yang baik atau yang buruk adalah ciptaan
Tuhan. Akan tetapi pernyataan ini menurut Al-Maturidi bukan berarti bahwa Tuhan
berbuat dan bertindak sewenang-wenang serta sekehendak-Nya semata. Hal
ini qudrat Tuhan tidak sewenang-wenang (absolut), tetapi
perbuatan dan kehendak-Nya itu berlangsung sesuai dengan hikmah dan keadilan
yang sudah diteapkan-Nya sendiri.
4. Mengenai
Sifat Allah SWT
Dalam masalah sifat-sifat Tuhan terdapat persamaan antara imam
Al-Asy’ari dengan Al-Maturidi. Baginya Tuhan juga mempunyai sifat-sifat,
seperti adanya nash yang menunjukkan bahwa Allah menyifati diri-Nya dengan sifat
mendengar dan melihat. Maka menurut pendapatnya, Tuhan mengetahui bukan dengan
dzat-Nya tetapi dengan pengetahuan-Nya, tetapi Dia tidak seperti pengetahuan (
al-Ulm), Dia juga berkuasa bukan dengan dzat-Nya, tetapi dengan kekuasaan-Nya,
tetapi Dia tidak seperti kekuasaan (al-Qudroh).
Dia mendengar bukan dengan
dzat-Nya, tetapi (al-Asma’), begitu pula Dia melihat, tetapi bukan dengan
dzat-Nya. Dia melihat dengan penglihatan-Nya dan tidak seperti penglihatan
(al-Abshor).[12]
5.Melihat Tuhan
Dalam hal ini,
Al-Maturidi sejalan dengan golongan A-Asy’ariyah, bahwa Tuhan kelak dapat
dilihat oleh manusia. Ia berusaha mengajukan silogisme sebagai berikut: tidak
dapat dilihat adalah yang tidak berwujud, setiap berwujud pasti dapat dilihat
dan karena Tuhan berwujud maka Tuhan pasti dapat di lihat.[13]Hal ini
diberitakan oleh Al-Quran, antara lain oleh firman Alah dalam surat Al-Qiyamah
ayat 22 dan 23. Al-Maturidi lebih lanjut mengatakan bahwa Tuhan kelak di
akhirat dapat dilihat dangan mata, karena Tuhan mempunyai sifat wujud walaupun
Ia immaterial. Namun melihat Tuhan, kelak di akhirat tidak dalam bentuknya
(bila kaifa), karena keadaan di akhirat berdeda dengan keadaan di dunia.[14]
6.Kalam Tuhan
Al-Maturidi sependapat
dengan Al-Asy’ari demikian juga dengan Abu Hanifah bahwa kalam Allah adalah
qodim. Ia mengatakan bahwa Al-Qur’an adalah kalam Allah yang qodim, tidak
dirubah, tidak diciptakan, tidak baru dan ada permulaannya. Adapun huruf-huruf
muqaththa’ah bentuk-bentuk, warna-warna, suara-suara dan segala sesuatu yang
tertentu dan segala sesuatu yang ada di alam dari al-Mukaffayat, adalah makhluk
yang bermulaan dan diciptakan, dan sesungguhnya kalam Allah SWT adalah sifat
yang ada dengan dzat Allah ta’ala, yang tidaj tersusun dari huruf-huruf dan
suara-suara.[15]
7.Perbuatan
Munusia
Menurut Al-Maturidi, tidak ada sesuatu
yang terdapat dalam wujud ini, kecuali semuanya atas keendak Tuhan, dan tidak
ada yang memaksa atau membatasi kehendak Tuhan, kecuali ada hikmah dan keadilan
yang ditentukan oleh kehendak-Nya sendiri. Oleh karena itu Tuhan tidak wajib
berbuat ash-shalah wa al-shalah (yang baik dan terbaik bagi manusia).
Setiap perbuatan Tuhan yang bersifat mencipta atau kewajiban-kewajiban tersebut
antara lain:
a. Tuhan tidak membedakan kewajiban-kewajiban
kepada manusia diluar kemampuannya karena hal tersebut tidak sesuai dengan
keadilan, dan manusia juga diberi kemerdekaan oleh Tuhan dalam kemampuan dan
perbuatannya.
b. Hukum atau ancaman dan janji terjadi
karena merupakan tuntutan keadilan yang sudah ditetapkan-Nya.
8.Pengutusan
Rasul
Akal tidak selamanya mampu mengetahui kewajiban
yang dibebankan kepada manusia, seperti kewajiban mengetahui baik dan buruk
serta kewajiban lainnya dari sifat ang dibebankan kepada manusia. Oleh karena
itu, menurut Al-Maturidi , akal memerlukan bimbingan ajaran wahyu untuk
mengetaui kewajiban- kewajiban tersebut. Jadi pengutusan rasul berfungsi
sebagai sember informasi. Tanpa mengikuti ajaran wahyu yang disampaikan rasul
berarti manusia telah membebankan sesuatu yang berada diluar kemampuannya
kepada akalnya.
Pandangan Al-Maturidi ini tidak jauh
berbeda dengan pandangan Mu’tazilah yang berpendapat bawa pengutusan rasul
ketengah-tengah umatnya adalah kewajiban Tuhan agar manusia dapat berbuat baik
dan terbaik dalam kehidupanya.
9.Pelaku Dosa
Besar (Murtakib Al-Kabir)
Al-Maturidi berpendapat
bahwa orang yang berdosar besar tidak kafir dan tidak kekal didalam neraka
walaupun ia mati sebelum bertaubat. Hal ini karena Tuhan telah menjanjikan akan
memberikan balasan kepada manusia sesuai dengan perbuatanya. Kekal di dalam
neraka adalah balasan untik orang berbuat dosa syirik. Dengan demikian. Berbuat
dosa selain syirik tidak akan menyebabkan pelakunya kekal di dalam neraka. Oleh karena itu, perbuatan
dosa besar (selain syirik) tidaklah mejadikan seseorang kafir atau murtad.
Menurut Al-Maturidi, iman itu cukup dengan tashdiq dan iqrar,
sedangkan amal adalah penyempurna iman. Oleh karena itu amal tidak akan
menambah atau mengurangi esensi iman, kecuali menambah atau mengurangi sifatnya
saja.[16]
C. Aliran Qadariyah
istilah al-Qadariayah
adalah bentukan dari kata qadara yang berarti memutuskan dan memiliki kekuatan
atau kemampuan sebagai aliran dalam teologi islam. Qadariyah dalah sebutan yang
dipakai untuk suatu aliran yang member penekanan terhadap kebebasan dan
kekuatan manusia dalam menghasilkan perbuatannya.[17]
Sejarah lahirnya aliran Qadariyah tidak dapat
diketahui secara pasti dan masih merupakan sebuah perdebatan. Akan tetepi
menurut Ahmad Amin, ada sebagian pakar teologi yang mengatakan bahwa Qadariyah
pertama kali dimunculkan oleh Ma’bad al-Jauhani dan Ghilan ad-Dimasyqi sekitar
tahun 70 H/689M.[18]
Dalam kitab Sarh al-Uyundisebutkan, ada
yang mengatakan bahwa yang pertama kali melahirkan paham Qadariyah adalah
seorang laki-laki penduduk Irak, yang mula-mula beragama Nashroni, lalu masuk
Islam, kemudian murtad kembali ke agama Nashroni. Dari dialah Ma’bad al-Juhani
dan Goilan al-Dimasyqi menerima paham Qadariyah. Dari informasi ini kita
mengetahui paham Qadariyah sengaja di masukkan ke dalam Islam dan berkembang di
kalangan umat Islam dari unsure luar, dengan memakai nama Islam untuk
maksut-maksut tertentu.[19]
Doktrin-Doktrin Qadariyah
Dalam kitab Al-Milal wa An-Nihal , pembahasan
masalah Qadariyah disatukan dengan pembahasan tentang doktrin-doktrin Mu’tazilah,
sehingga perbedaan antara kedua aliran ini kurang begitu jelas. Ahmad Amin juga
menjelaskan bahwa doktrin qadar lebih luas di kupas oleh kalangan Mu’tazilah
sebab faham ini juga menjadikan salah satu doktrin Mu’tazilah akibatnya, orang
menamakan Qadariyah dengan Mu’tazilah karena kedua aliran ini sama-sama percaya
bahwa manusia mempunyai kemampuan untuk mewujudkan tindakan tanpa campur tangan
tuhan diberi ganjaran baik dengan balasan surga kelak di akhirat dan diberi
ganjaran siksa dengan balasan neraka kelak di akhirat,itu berdasarkan pilihan
pribadinya sendiri ,bukan akhir Tuhan.Sungguh tidak pantas,manusia menerima
siksaan atau tindakan salah yang dilakukan bukan atas keinginan dan
kemampuannya sendiri.[20]
Ajaran paham al-Qadariyah yang bersumber dari
Ma’bad dan dikembang siarkan oleh Ghailan ini segera memperoleh pengikut yang
cukup, tetapi dalam perjalanan sejarah Ma’bad memasuki lapangan politik dan
menentang kekuasaan Bani Umayah, Akhirnya ia mati terbunuh pada tahun 80H/690M.
Agaknya Ghailan, sepeninggal Ma’bad tampil sebagai penerus dalam mensyiarkan
paham ini. Ghailan yang memiliki jabatan sekretaris dalam pemerintahan di
Damaskus ini adalah sama dengan Ghailan yang menjadi salah satu tokoh paham
al-Murji’ah al-Sholihiah bersama-sama dengn Shaleh Ibn Ilmar al-Shalihi,
al-Shalihi Muhammad Ibn Syabit dan Abu Syamr[21]
D. Aliran Murji’ah
Murji’ahdiambildari
kata irja atau
arja’a yang
bermakna penundaan, penangguhan, dan pengharapan. Kata arja’a mengandung pula arti memberi pengharapan kepada pelaku dosa besar untuk memperoleh pangampunan dan rahmat Allah SWT. Selain itu arja’a berarti pula meletakkan di
belakang atau mengemudikan, yaitu orang yang mengemudikan amal dari iman. Oleh karena itu Murji’ah artinya orang yang
menunda penjelasan kedudukan seseorang yang
bersengketa, yakni Ali dan Mu’awiyah serta pasukannya masing-masing ke hari kiamat kelak.
Aliran Murji’ah muncul sebagai
reaksi atas sikapnya yang tidak mau terlibat dalam upaya “kafir mengkafirkan”
terhadap orang yang melakukan dosa besar, sebagaimana hal ini dilakukan oleh aliran
Khawarij.[22]
2.
Doktrin-doktrinPokokMurji’ah
Doktrin-doktrin aliran Murji’ah
bisa diketahui dari makna yang terkandung dalam “murji’ah” dan dalam sikap netralnya.
Pandangan “netral” tersebut, nampak pada penamaan aliran ini yang berasal dari kata “arja’a”,
yang berarti “orang yang menangguhkan”, mengakhirkan dan “memberi pengharapan”. Menangguhkan
berarti “menunda soal siksaan seseorang di tangan Tuhan, yakni jika Tuhan mau memaafkan,
dia akan langsung masuk surga. Jika sebaliknya, maka akan disiksa sesuai dengan dosanya.
Istilah
“member harapan” mengandung arti bahwa, orang yang melakukan maksiat padahal ia seorang mukmin,
imannya masih tetap sempurna. Sebab, perbuatan maksiat tidak mendatangkan pengaruh
buruk terhadap keimanannya, sebagaimana halnya
perbuatan taat atau baik yang dilakukan oleh orang kafir, tidak akan mendatangkan
faedah terhadap kekufurannya. Mereka “berharap” bahwa seorang mukmin yang
melakukan maksiat, ia masih dikatakan mukmin.
Berdasarkan itu, maka inti faham
atau doktrin-doktrin Murji’ah adalah sebagai berikut :
1.
Iman ialah mengenal Allah dan Rasulnya, barangsiapa yang tidak
mengenal bahwa “tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad sebagai Rasul-Nya”,
ia mukmin sekalipun melakukan dosa.
2.
Amal perbuatan bukan merupakan bagian dari iman, sebab iman adanya
dalam hati. Sekalipun melakukan dosa besar, tidaklah akan menghapus iman
seseorang, tetapi terserah Allah untuk menentukan hukumnya.[23]
Kaum Murji’ah pecah menjadi
beberapa golongan kecil. Namun, pada umumnya Aliran Murji’ah menurut Harun Nasutuion, terbagi kepada dua golongan besar, yakni “golongan moderat” dan “golongan ekstrim”.[24]
Golongan Murji’ah
moderat berpendapat bahwa orang yang berdosa
besar bukanlah kafir dan tidak kekal dalam neraka, tetapi akan di hukum sesuai dengan
besar kecilnya dosa yang dilakukan.
Sedangkan Murji’ah ekstrim, yaitu pengikut Jaham Ibnu Sofwan, berpendapat bahwa orang Islam yang percaya kepada
Tuhan kemudian menyatakan kekufuran secara lisan, tidaklah menjadi kafir,
karena iman dan kufur tempatnya dalam hati. Bahkan, orang yang menyembah berhala, menjalankan agama Yahudi dan Kristen sehingga ia mati, tidaklah menjadi kafir. Orang yang
demikian, menurut pandangan Allah, tetap merupakan seorang mukmin yang sempurna imannya.
Kelompok ekstrim dalam Murji’ah terbagi menjadi empat kelompok besar, yaitu :
1.
Al-Jahmiyah, kelompok Jahm bin Syahwan dan para pengikutnya, berpandangan
bahwa orang yang percaya kepada tuhan kemudian menyatakan kekufuran secara
lisan, tidaklah menjadi kafir karena iman dan kufur itu bertempat di dalam hati
bukan pada bagian lain dalam tubuh manusia.
2.
Shalihiyah, kelompok Abu Hasan Ash-Shalihi, berpendapat bahwa iman adalah
mengetahui tuhan, sedangkan kufur tidak tahu tuhan. Sholat bukan merupakan
ibadah kepada Allah, yang disebut ibadah adalah iman kepada-Nya dalam arti
mengetahui tuhan. Begitu pula zakat, puasa dan haji bukanlah ibadah, melainkan
sekedar menggambarkan kepatuhan.
3.
Yumusiah dan Ubaidiyah, melontarkan pernyataan
bahwa melakukan maksiat atau perbuatan jahat tidaklah merusak iman seseorang.
Mati dalam iman, dosa-dosa dan perbuatan jahat yang dikerjakan tidaklah
merugikan orang yang bersangkutan. Dalam hal ini Muqatil bin Sulaiman
berpendapat bahwa. perbuatan jahat, banyak atau sedikit tidak merusak iman
seseorang sebagai musyrik.
4.
Hasaniyah, jika seseorang mengatakan “saya tahu Tuhan melarang makan babi, tetapi
saya tidak tahu apakah babi yang diharamkan itu adalah kambing ini”,
maka orang tersebut tetap mukmin, bukan kafir.[25]
III. PENUTUP
Berdasarkan uraian di atas dapat
disimpulkan bahwa aliran Asy’ariyah merupakan aliran yang ditokohi oleh Abu
Musa Al-Asy’ari yang mempunyai nama lengkap Abu Hasan Ali bin Isma’il bin Ishaq
bin Salim bin Isma’il bin Abdullah bin Musa bin Bilal bin Abi bin Abi Musa
Al-Asy’ari. Adapun pemikiran-pemikiran Al-Asy’ari yang terpenting antara lain :
Tuhan dan Sifat-sifat-Nya, kebebasan dalam berkehendak (free-will), akal dan
wahyu dan kriterian baik dan buruk, melihat Allah, dan kedudukan orang berdosa.
Tokoh aliran Maturidiyah adalah Abu
Mansur Al-Maturidi. Adapun pemikiran-pemikirannya antara lain : akal dan wahyu,
perbuatan manusia, kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan, mengenai sifat Allah
SWT, melihat Tuhan, Kalam Tuhan, perbuatan manusia, pengutusan Rasul, dan
pelaku dosa besar (Murtakab Al-kabir).
Aliran Qadariyah mempunyai pokok
pemikiran bahwa usaha dan gerak perbuatan manusia ditimbulkan sendiri, bukan
dari Allah. Dalam pandangannya, manusia mempunyai kebebasan untuk menentukan
perbuatannya serta melakukan perbuatannya itu. Dan di akhirat mereka harus
mempertanggungjawabkan semua perbuatan itu. Faham ini mula-mula dianjurkan oleh
Ma’bad Al-Juhainy, Ghailan Al-Dimasyqi, dan Al-Ja’du bin Dirham. Ketiga tokoh
ini hidup pada zaman Daulah Umayyah dan ketiganya mati terbunuh.
Aliran Murji’ah berpendapat bahwa mukmin
yang melakukan dosa besar masih tetap mukmin, yaitu mukmin yang berdosa tidak
berubah menjadi kafir. Aliran ini jiga berpendapat bahwa kemaksiatan tidaklah
menghilangkan keimanan atau memberi bekas terhadap keimanan seseorang,
sebagaimana ketaatan tidak memberi pengaruh terhadap orang kafir.
DAFTAR PUSTAKA
Abu Zahrah,
Imam Muhammad, 1996, Aliran Politik dan Aqidah dalam Islam, Jakarta, Logos.
Al-Asy’ari, Abu
al Hasan, 1950, Maqalat al-Islamiyyah,
Kairo, An-Nahdhah al-Mishriyah.
Al-Maturidi,
Abu Mansur, 1979, Kitab at-Tauhid,
Turki, Al-maktabah al-islamiyah.
Al-Syahrastani,
Abdul Karim, tt, al-Milal wa an-Nihal,
Mesir, Darul fikr.
Amin,
Ahmad, 1964, Dhuhr al-islam, Kairo,
An-Nadhah al-Mishriyah.
Anwar
Rohison, Abdul Razak, 2001, Ilmu Kalam, Bandung, Pustaka Setia.
Forum Guru bina
PAI Madrasah Aliyah, 2008, Al Hikmah,
Sragen, CV. Akik Pusaka.
Mufid,
Fathul, 2009, Ilmu tauhid/ilmu kalam,
Kudus, STAIN Kudus.
Nata,
Abudin,1994, Ilmu Kalam, Filasfat dan
Tashawuf, Jakarta, Rajawali Press.
http://aftanet.blogspot.com/2011/06/sejarah-munculnya-aliran-asariyah-dan.html
http://takberhentiberharap.wordpress.com/2011/05/11/aliran-qadariyah
sherikay.blogspot.com/2008/11/aliran-qadariyah.html.
http://man2amuntai.wordpress.com/2008/11/29/aliran-murjiah/
[1]http://Ilhamyp06.blogspot.com/2011/05/aliran-tokoh-ilmu-kalam.html,
diakses 13 febuari 2012, jam 14.00 WIB
[2] Forum Guru bina PAI Madrasah Aliyah,al hikmah,(Sragen:CV.akik pusaka,2008),
hlm 28
[3]http://aftanet.blogspot.com/2011/06/sejarah-munculnya-aliran-asariyah-dan.html,
di akses 16 februari 2012, 20.00 Wib
[4] Ahmad Amin, Dhuhr al-islam,(Kairo:An-Nadhah al-Mishriyah,1964), hlm 75
[5]http://aftanet.blogspot.com/2011/06/sejarah-munculnya-aliran-asariyah-dan.html, di akses 16 februari 2012, 20.00 Wib
[6] Abu al hasan Al-Asy’ari, Maqalat al-islamiyyah,(Kairo:An-Nahdhah al-Mishriyah,1950),hlm 9
[7] Abdul karim al-syahrstani,al-milal wa an-nihal(Mesir:Darul fikr,tt),hlm 6
[8]http://aftanet.blogspot.com/2011/06/sejarah-munculnya-aliran-asariyah-dan.html,
di akses 16 februari 2012, 20.00 Wib
[9]Fathul Mufid, Ilmu tauhid/ilmu kalam,(Kudus: STAIN Kudus,2009), cet 1,hlm 133
[12] Abu Mansur Al-Maturidi, Kitab at-Tauhid,(Turki: Al-maktabah al-islamiyah,1979,)hlm 10
[14]http://aftanet.blogspot.com/2011/06/sejarah-munculnya-aliran-asariyah-dan.html,
di akses 16 februari 2012, 20.00 Wib
[16]http://aftanet.blogspot.com/2011/06/sejarah-munculnya-aliran-asariyah-dan.html,
di akses 16 februari 2012, 20.00 Wib
[17]Abudin Nata, Ilmu Kalam, Filasfat dan Tashawuf,(Jakarta: Rajawali Press,1994),
hlm 36
[18]http://takberhentiberharap.wordpress.com/2011/05/11/aliran-qadariyah,
di akses 16 februari 2012, jam 21.00 WIB
[19] Imam Muhammad Abu Zahrah, Aliran Politik dan Aqidah dalam Islam, (Jakarta: Logos,1996),hlm
133
[21]Abdul Karim al-syahrstani, op.cit hlm145
[23]http://man2amuntai.wordpress.com/2008/11/29/aliran-murjiah/diakses pada 17
Februari 2012, jam 21.30 WIB
[24]http://man2amuntai.wordpress.com/2008/11/29/aliran-murjiah/ di akses pada 16 Februari 2012, 22.00 WIB
Tidak ada komentar:
Posting Komentar