Minggu, 28 Mei 2017

aliran asy'ariyah, qodariyah, maturidiyah,murji'ah dan doktrin teologinya



I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
            Sejak wafatnya Nabi Muhammad SAW kaum muslimin sudah mulai menghadapi perpecahan. Tetapi perpecahan itu menjadi reda, karena terpilihnya Abu Bakar menjadi khalifah. Setelah beberapa lamanya Abu Bakar menduduki jabatan kekhalifahan, mulai tampak kembali perpecahan yang disebarkan oleh orang-orang yang murtad dari Islam dan orang-orang yang mengumumkan dirinya menjadi nabi, seperti Musailamatul Kadzab, Thulaihah, Sajah, dan Al-Aswad Al-Ansy. Di samping itu juga ada kelompok-kelompok lain yang tidak mau membayar zakat kepada Abu Bakar. Padahal dahulunya mereka semua taat dan disiplin membayar zakat pada Nabi. Akan tetapi semua perselisihan itu segera dapat diatasi dan dipersatukan kembali, karena kebijaksanaan khalifah Abu Bakar. Maka selamatlah kekuasaan Islam yang muda itu dari ancaman fitnah dari musuh-musuh Islam yang hendak menghancur-leburkannya.
            Kemudian perjalanan kekhalifahan Abu Bakar As-Shidiq, Umar Ibnu Khattab, dan Utsman Ibnu Affan tidak begitu menghadapi persoalan, bahkan terjalin persaudaraan yang mesra dan akrab. Pada masa ketiga khalifah itulah dipergunakan kesempatan yang sebaik-baiknya mengerahkan semua tenaga kaum muslimin untuk menyiarkan dan mengembangkan Islam ke seluruh penjuru dunia. Tetapi setelah Islam meluas ke Afrika, Asia Timur, bahkan Asia Tenggara tiba-tiba diakhir khalifah Utsman, terjadi suatu persoalan yang ditimbulkan oleh tindakan Utsman yang oleh sebagian orang islam dianggap kurang mendapat simpati dari sebagian kaum muslimin.
            Kebijakan khalifah Utsman yang dianggap tidak sesuai dengan kebutuhan umat pada saat itu, diantaranya adalah kurang pengawasan dan pengangkatan terhadap beberapa pejabat penting dalam pemerintahan (para eksekutif) di lapangan tidak bekerja secara maksimal, diperparah lagi dengan adanya sikap nepotisme dari keluarganya. Utsman banyak menempatkan para pejabat tersebut dari kalangan keluarganya, sehingga banyak mengundang protes dari kalangan umat Islam. Dan sebenarnya hal ini bisa dimaklumi karena memang keluarga Utsman adalah keluarga orang-orang yang pandai. Namun inilah bermulanya fitnah yang membuka kesempatan orang-orang yang berambisi menggulingkan pemerintahan Utsman.
Karena derasnya arus fitnah ini sehingga mengakibatkan terbunuhnya Sayyidina Utsman bin Affan. Setelah itu makan Ali bin Abi Thalib terpilih dan diangkat menjadi khalifah, tetapi dalam pengangkatan tidak memperoleh suara yang bulat, karena ada golongan yang tidak menyetujui pengangkatan itu. Bahkan ada yang terang-terang menentang pengangkatan tersebut sekaligus menuduh bahwa Ali campur tangan atau sekurang-kurangnya membiarkan komplotan pembunuhan terhadap Utsman. Sejak itulah berpangkalnya perpecahan umat Islam, hingga menjadi beberapa partai atau golongan. Diantaranya sebagai berikut :
            Kelompok yang setuju dengan pengangkatan Ali sebagai khalifah. Kelompok yang pada awalnya patuh dan setuju, tetapi kemudian setelah terjadi perpecahan, menjadi golongan yang netral. Mereka berpendidikan, tidak mau mengikuti dan taat pada Ali, tidak pula memusuhi Ali. Karena mereka berkeyakinan bahwa keberpihakan kepada salah satu dari golongan tersebut tidak berakibat baik.
            Kelompok yang jelas-jelas menentang Ali secara terbuka adalah Thalhah bin Abdullah, Zubir bin Awam, Aisyah binti Abu Bakar. Semuanya ini bersatu dan sepakat menjadikan Aisyah sebagai komandan untuk menggulingkan khalifah Ali. Mereka menyusun tentara lalu menduduki Basrah, pegawai-pegawai Ali di Basrah dibunuh, pembendaharaan dirampas. Sebab itu Ali pun dengan membawa pasukan yang dipimpinnya sendiri menuju Basrah, dan akhirnya terjadilah pertempuran hebat. Thalhah dan Zubir terbunuh, Aisyah tertangkap dan dipulangkan ke Medinah. Peperangan ini dinamakan perang jamal (unta), sebab Aisyah memimpin pertempuran itu dari atas unta. Dari tentara Aisyah banyak yang melarikan diri dan menggabungkan diri dengan tentara Mu’awiyah di Syam yang sama-sama menentang Ali. Terjadilah peperangan antara Mu’awiyah dan Ali, hingga pertempuran Shiffin, yaitu perang terakhir antara Ali dan Mu’awiyah.
            Ada golongan umat Islam yang memisahkan diri dari tentara Ali yang dikenal dengan kaum khawarij, mereka tidak setuju dengan gencatan senjata dan perundingan antara Mu’awiyah dan Ali. Mereka ini dihancurkan pula oleh Ali, sehingga bercerai-berai. Sebenarnya khawarij ini pada mulanya sungguh-sungguh membela kepentingan agama. Mereka menuduh Ali tidak tegas dalam mempertahankan kebenaran, sedang Mu’awiyah adalah penentang kebenaran, jadi mereka memisahkan diri dari kedua kelompok tersebut. Ia merasa mempunyai hak untuk menentang pemerintahan mana saja yang tidak jujur. Dengan alasan-alasan itulah, khawarij menentang Ali dan Mu’awiyah.
            Demikianlah golongan-golongan politik yang timbul di masa Khalifah Ali. Kemudian sesudah Ali, timbullah beberapa kelompok atau aliran ilmu kalam (aliran tentang aqidah) yang diakibatkan oleh timbulnya golongan-golongan tersebut di atas. Yaitu : Syi’ah, Qadariyah, Jabariyah, Murji’ah, Karamiyah, Khawarij dan sebagainya. Dari sini penulis mencoba memaparkan tema yang berjudul “Aliran Murji’ah, Qadariyah, Maturidiyah, Asy’ariyah dan Doktrin Teologinya” sesuai dengan tugas yang dibebankan kepada penulis.[1]
B. Rumusan Masalah
            Adapun yang menjadi rumusan masalah antara lain :
1.      Apa yang dimaksud dengan aliran Asy’ariyah dan bagaimana doktrin teologinya ?
2.      Apa yang dimaksud dengan aliran Maturidiyah dan bagaimana doktrin teologinya ?
3.      Apa yang dimaksud dengan aliran Qodariyah dan bagaimana doktrin teologinya ?
4.      Apa yang dimaksud dengan aliran Murji’ah  dan bagaimana doktrin teologinya ?












II. PEMBAHASAN
A. Aliran Asy’ariyah
Riwayat Singkat Al-Asy’ari
Nama lengkap Al-Asy’ari adalah Abu Hasan Ali bin Isma’il bin Ishaq bin Salim bin Isma’il bin Abdullah bin Musa bin Bilal bin Abi bin burdah bin Abi Musa Al-Asy’ari.menurut beberapa riwayat Al-Asy’ari lahir di Bashrah pada tahun 260 H/ 875 M. ketika berusia lebih dari 40 tahun ia hijrah ke kota baghdad dan wafat di sana pada tahun 324 H/ 935 M.[2]
Menurut Ibn Asakir, Ayah Al-Asy’ari adalah seseorang yang berfaham Ahlussunnah dan Ahli Hadits. Ia wafat ketika Al-Aya’ari masih kecil. Sebelum wafat, ia berwasiat kepada seorang sahabatnya yang bernama Zakariyah bin Yahya As-Saji agar mendidik Al-Asy’ari. Ibu Al-Asy’ari sepeninggalan ayahnya, menikah kembali dengan seorang tokoh mu’tazillah yang bernama Abu Ali Al-Jubba’i(wafat. 321 H/915 M). berkat didikan ayah tirinya itu, Al-Asy’ari kemudian menjadi toko Mu’tazillah. Ia sering menggantikan Al-Jubba’I dalam perdebatan menentang lawan-lawan Mu’tazillah. Selain itu banyak menulis buku yang membela alirannya.
Al-Asy’ari menganut faham Mu’tazillah hanya sampai usia 40 tahun. Setelah itu tiba-tiba ia mengumumkan di hadapan jama’ah masjid Bashroh bahwa dirinya telah meninggalkan faham  Mu’tazillah dan menunjukkan keburukan-keburukannya. Menurut Ibn Asakir, yang melatar belakangi Al-Asy’ari meninggalkan faham Mu’tazillah asalah pengakuan Al-Asy’ari telah bermimpi bertemu denga Rosullullah SAW. Sebanyak tiga kali, yaitu pada malam ke-10, 20, dan 30 bulan Ramadhan. Dalam tiga mimpinya itu Rosullullah memperingakannya agar meninggalkan faham Mu’tazillah dan membela faham yang telah diriwayatkan dari beliau.[3]
Doktrin – doktrin Teologi Al-Asy’ari
Formulasi pemikiran Al-Asy’ari, secara esensial, menampilkan sebuah upaya sintesis antara formulasi ortodoks ekstrim di satu sisi dan Mu’tazilah disisi lain. Dari segi etosnya, pergerakan tersebut memiliki semangat ortodoks. Aktualitas formulasinya jelas menampilkan sifat yang reaksionis terhadap Mu’tazillah, sebuah reaksi yang tidak dapat dihindarinya. Corak pemikiran yang sintetis ini, menurut Watt, barangkali dipengaruhi teologi Kullabiah (teologi sunni yang dipelopori oleh kullab (wafat. 854 M).
Pemikiran-pemikiran Al-Asy’ari yang terpenting adalah berikut ini:
1.Tuhan dan sifat-sifatnya
Dari beberapa ayat Al-qur’an, jelas disebut bahwa Tuhan itu Alim, mengetahui dengan pengetahuannya. Bukan dengan dzat-Nya, dan mustahil Tuhan itu merupakan pengetahuan. Disini terlihat Al-Asy’ari menetapkan sifat sama dengan kalangan salaf, namun cara penafsirannya berbeda. Kaum salaf hanya menetapkan sifat kepada Tuhan sebagaimana dalam teks ayat, tanpa melakukan pembahasan. Bagi Al’Asy’ari, arti sifat berbeda dengan makna dzat tetapi bukan pula lain dari dzat. Pemaknaan semacam ini seperti tidak jauh berbeda dengan ungkapan kaum mu’tazilah. Bagi mereka sifat sama dengan dzat. Jika dikatakan bahwa Tuhan mengetahui (Alim), maka ini artinya menetapkan pengetahuan bagi Allah, dan yang mengetahui itu adalah dzat-Nya. Dan penetapan ini hanya digunakan untuk menjelaskan bahwa Allah (Tuhan) itu tidak jahil.[4]
Perbedaaan pendapat dikalangan mutakalimin mengenai sifat-sifat Allah tak dapat  dihadapkan pada dua pendangan ekstrim. Disatu pihak dia berhadapan dengan kelompok mujassimah (antropomorfis) dan kelompok musabbihah yang berpendapat bahwa  Allah mempunyai semua sifat yang disebut dalam Al-Qur’an dan sunnah dan sifat-sifat itu harus difahami menurut arti harfiahnya. Dilain pihak, ia berhadapan dengan kelompok Mu’tazillah yang berpendapat bahwa sifat-sifat Allah tidak lain selain esensi-Nya. Adapun tangan, kaki, telinga Allah atau Arsy atau kursi tidak boleh diartikan secara harfiah melainkan harus dijelaskan secara alegoris.
Menghadapi semua kelompok tersebut, Al-Asy’ari berpendapat bahwa Allah memang memiliki sifat-sifat itu, seperti mempunyai tangan dan kaki dan itu tidak boleh diartikan secara harfiah, malainkan secara simbolis (berbeda dengan kelompok sifatiah). Selanjutnya Al-Asy’ari berpendapat bahwa sifat-sifat Allah itu unik sehingga tidak dapat dibandingkan dengan sifat-sifat manusia yang tampak mirip. Sifat-sifat Allah berbeda dengan Allah sendiri, tetapi sejauh menyangkut realitasnya (haqiqah) tidak terpisah dari esensia-Nya. Dengan demikian, tidak bereda dengan-Nya.
2.Kebebasan dalam berkehandak (Free-Will)
Dalam hal apakah manusia memiliki kemampuan untuk memilih, menentukan, serta mengaktualisasikan perbuatannya? Dari dua pendapat ekstrim yakni, Jabariyah yang fatalistik dan menganut faham paradeterminisme semata-mata dan Mu’tazillah yang menganut faham kebebasan mutlak dan berpendapat bahwa manusia menciptakan perbuatannya sendiri. Al-Asy’ari membedakan antara kholiq  dan kasb. Menurutnya Allah adalah pencipta (kholiq) perbuatan manusia., sedangkan manusia sendiri yang mengupayakannnya (muktasib). Hanya allah lah yang mampu menciptakan segalah sesuatu (termasuk keinginan manusia).[5] Dengan kekuasaan-Nya yang muthlak. Tuhan bisa saja memberikan petunjuk bagi siapa saja yang fikehendaki atau sebaliknya. Ia juga berkuasa menyantuni orang-orang yang kafir. Semua yang terjadi di alam ini atas kehendak dan ketetapan Allah.[6] Bertitik tolak dari paham kekuasaan muthlak yang tak terbatas yang dimiliki tuhan, Al’Asy’ari berpendapat bahwa Allah tidaklah salah kalau memasukkan seluruh ummat manusia kedalam surga, termasuk orang-orang kafir. Dan juga sebaliknya, tidak bisa dikatakan tuhan itu dzalim, jika Ia memasukkan seluruh ummat manusia ke dalam neraka.[7]
3.Akal dan Wahyu dan kriteria baik dan buruk
Walaupun Al-Asy’ari dan orang-orang Mu’tazillah pentingnya akal dan wahyu, tetapi mereka berbeda dalam menghadapi permasalahan yang memperoleh penjelasan kontradiktif dari akal dan wahyu. Al-Asy’ari mengutamakan wahyu sedangkan Mu’tazillah mengutamakan akal.
Dalam menentukan baik dan burukpun terjadi perbedaan pendapat di antara mereka. Al-Asy’ari berpendapat bahwa baik dan buruk harus berdasarkan wahyu, sedangkan Mu’tazillah berdasarkan akal.
4.Melihat Allah
Al-Asy’ari tidak sependapat dengan kelompok ortodoks ekstrim, terutama Zahiriyah, yang menyatakan bahwa Allah dapat dilihat di Akhirat dan mempercayai bahwa Allah besemayam di Arsy. Selain itu, ia tidak sependapat dengan Mu’tazillah yang mengingkari ru’yatullah (melihat Allah) di Akhirat. Al-Asy’ari yakin bahwa Allah dapat dilihat di Akhirat, tetapi tidak dapat digambarkan, kemungkinan ru’yat dapat terjadi manakala Allah sendiri yang menyebabkan dapat dilihat  atau bilamana ia menciptakan kemampuan penglihatan manusia untuk melihat-Nya.
5.Kedudukan orang berdosa

B. Aliran Maturidiyah
Riwayat Singkat Al – Maturidi
Abu Mansur Al-Maturidi di lahirkan di Mutarid,sebuah kota kecil di daerah Samarkand, wilayah Trmsoxiana di Asia Tengah, daerah yang sekarang di sebut Uzbekistan. Tahun kelahirannya tidak di ketahui secara pasti, hanya dipastikan sekitar pertengehan abad ke-3 Hijriah. Ia wafat pada tahun 333 H/944 M. Gurunya dalam bidang fiqih dan teologi bernama Nasyr bin Yahya Al – Balakhi. Ia wafat pada tahun 28 H. Al-Maturidi hidup pada masa khalifah Al-Mutawakil yang memerintah tahun 232-274 H/847-861 M.[9]
Karir pendidikan Al-Maturidi lebih dikonsentrasikan untuk menekuni bidang biologi dari pada fiqih. Ini dilakukan utuk memperkuat pengetahuan dalam menghadapi faham-faham teologi yang banyak berkembang dalam masysrakat Islam, yang di pandangnya tidak sesuai dengan kaidah yang benar menurut akal dan syara.[10] Pemikiran-pemikirannya banyak dituangkan dalam bentuk karya tulis, diantaranya ialah Kitab Tauhid, Ta’wil Aq Quran Makhaz Asy Syara’i , Al-Jadl, Ushul fi Ushul Ad-Din, Maqalat fi Al-Ahkam Radd Awa’il Al-Abdillah li Al-Ka’bi, Radd Al-Ushul Al-Khamisah li Abu Muhammad Al-Bahili, Radd Al-Imamah li Al-Ba’ad Ar-Rawafid, Dan Kitab Radd ‘Ala Al-Qaramatah. Selain itu ada katrangan-karanga lian yang diduga ditulis olehnya, yaitu Risalah fi Al-Aqaid Dan Syarh Fiqh Al-Akbar.[11]
Doktrin – doktrin Teologi Al – Maturidi
1.Akal dan Wahyu
Dalam pemikiran teologinya, Al-Maturidi mendasarkan pada Al-Quran dan akal. Dalam hal ini ia sama dengan Al-Asy’ari. Menurut Al-Mauridi, mengetahui Tuhan danKewajiban Mengetahui Tuhan dapat diketahui dengan akal. Kemampuan akal dalam kedua hal tersebut sesuai dengan ayat-ayat  Al-Quran yang memerintahkan agar manusia menggunakan akal dalam uasha memperoleh pengetahuan dan keimananya terhadap Allah melalui pengamatan dan pemikiran yang mendalam tentang makhluk ciptaan-Nya. Kalau akal tidak mampu untuk memperoleh pengetahuan tersebut, tentunya Allah tidak akan memerintahkan manusia untuk melakukannya. Dan orang yang tidak mau menggunakan akal untuk memperolah iman dan pengetahuan mengenai Allah berarti meninggalkan kewajiban yang diperintahkan ayat-ayat tersebut. Namun akal, menurut Al-Maturidi, tidak mampu mengetahui kewajiban-kewajiban lainnya.
Dalam masalah baik dan buruk, Al-Maturidi berpendapat bahwa penentu baik dan buruknya sesuatu itu terletak pada suatu itu sendiri, sedang perintah atau larangan syari’ah hanyalah mengikuti ketentuan akal mengenai baik dan buruknya sesuatu. Ia mengakui bahwa akal tidak selalu mampu membedakan yang baik dan yang buruk, namun terkadang pula mampu mengetahui sebagian baik dan buruknya sesuatu. Dalam kondisi demikian, wahyu diperlukan untuk dijalankan sebagai pembimbing.
Al-Maturidi membagi kaitan sesuatu dengan akal pada tiga macam, yaitu:
a. Akal dengan sendirinya hanya mengetahui kebaikan suatu itu.
b. Akal dengan sendirinya hanya mengetahui keburukan suatu itu.
c. Akal tidak mengetahui kebaikan dan keburukan sesuatu itu, kecuali                   dengan petunjuk ajaran wahyu.
Tentang mengetahui kebaikan atau keburukan suatu dengan akal, Al-Maturidi sependapat dengan Mu’tazilah. Hanya saja kalau Mu’tazilah mengatakan bahwa perintah bahwa melakukan yang baik dan meninggalkan yang buruk itu didasarkan pada akal, Al-Maturidi mengatakan bahya kewajiban tersebut harus diterima dari ketentuan wahyu saja. Dalam persoalan ini Al-Maturidi , berbeda pendapat dengan Al-Asy’ari. Menurut Al-Asy’ari , baik atau buruk itu tidak terdapat pada suatu itu sendiri. Suatu itu dipandang baik karena perintah syara dan dipandang buruk karena dilarang syara. Jadi yang baik itu baik karena di perintah Allah dan yang buruk itu buruk karena larangan Allah. Pada konteks ini Al-Maturidi berada pada posisi tengah dari  Mu’tazilah dan Al-Asy’ari.
2.Perbuatan manusia
Menurut Al-Maturidi perbuatan manusia adalah ciptaan Tuhan karena segala sesuatu dalam wujud ini adalah ciptaan-Nya. Khusus mengenai perbuatan manusia, kebijaksanaan dan kedilan kehendak Tuhan mengharuskan menusia memiliki kemampuan berbuat (ikhtiar) agar kewajiban - kewajiban  yang di bebankan kepanya.
                                                           
 Dalam hal ini, Al-Maturidimempertemukan antara ikhtiar sebagai perbuatan manusia dan qudrad Tuhan sebagai pencipta perbuatan manusia. Tuhan menciptakan daya (kasb) dalam diri manusia dan manusia bebas memakainya. Daya-daya tersebut di ciptakan bersamaan dengan perbuatan manusia. Denagan demikian tidak ada pertentangan antara qudrad Tuhan yang menciptakan perbuatan manusia dan ikhtiar yang ada pada manusia. Kemudian karena daya ciptaan dalam diri manusia dan perbuatan yang di lakukan adalah perbuatan manusia sendiri dalam arti yang sebenarnya, maka tentu daya itu juga daya manusia. Berbeda dengan Al-Maturidi, Al-Asy’ari megatakan bahwa daya tersebut adalah daya Tuhan karena ia memandang bahwa perbuatan manusia adalah perbuatan Tuhan. Berbeda pula dengan Mu’tazilah yang memandang daya sebagai daya manusia yang telah ada sebelum perbuatan itu sendiri.
Dalam masalah pemakaian daya ini, membawa faham Abu , yaitu adanya Masyiah (kehendak)dan ridho (kerelaan). Kebebasan manusia dalam melakukan perbuatan baik atau buruk tetap berada dalam kehendak Tuhan, tetapi ia dapat tetap memilih yang diridho-Nya atau tidak diridho-Nya. Manusia berbuat baik Al-Maturidi atas kehendak dan kerelaan Tuhan, dan berbuat buruk juga atas kehendak Tuhan, tetapi tidak atas kerelaan-Nya. Dengan demikian berarti manusia dalam faham Al-Maturidi tidak sebebas manusia dalam faham Mu’tazilah.
3.Kekuasaan dan Kehendak Mutlak Tuhan
Telah diuraikan di atas bahwa perbuatan manusia dan segala sesuatu dalam wujud ini, yang baik atau yang buruk adalah ciptaan Tuhan. Akan tetapi pernyataan ini menurut Al-Maturidi bukan berarti bahwa Tuhan berbuat dan bertindak sewenang-wenang  serta sekehendak-Nya semata. Hal ini qudrat Tuhan tidak sewenang-wenang (absolut), tetapi perbuatan dan kehendak-Nya itu berlangsung sesuai dengan hikmah dan keadilan yang sudah diteapkan-Nya sendiri.
4. Mengenai Sifat Allah SWT
Dalam masalah sifat-sifat Tuhan terdapat persamaan antara imam Al-Asy’ari dengan Al-Maturidi. Baginya Tuhan juga mempunyai sifat-sifat, seperti adanya nash yang menunjukkan bahwa Allah menyifati diri-Nya dengan sifat mendengar dan melihat. Maka menurut pendapatnya, Tuhan mengetahui bukan dengan dzat-Nya tetapi dengan pengetahuan-Nya, tetapi Dia tidak seperti pengetahuan ( al-Ulm), Dia juga berkuasa bukan dengan dzat-Nya, tetapi dengan kekuasaan-Nya, tetapi Dia tidak seperti kekuasaan (al-Qudroh).

 Dia mendengar bukan dengan dzat-Nya, tetapi (al-Asma’), begitu pula Dia melihat, tetapi bukan dengan dzat-Nya. Dia melihat dengan penglihatan-Nya dan tidak seperti penglihatan (al-Abshor).[12]
5.Melihat Tuhan
Dalam hal ini, Al-Maturidi sejalan dengan golongan A-Asy’ariyah, bahwa Tuhan kelak dapat dilihat oleh manusia. Ia berusaha mengajukan silogisme sebagai berikut: tidak dapat dilihat adalah yang tidak berwujud, setiap berwujud pasti dapat dilihat dan karena Tuhan berwujud maka Tuhan pasti dapat di lihat.[13]Hal ini diberitakan oleh Al-Quran, antara lain oleh firman Alah dalam surat Al-Qiyamah ayat 22 dan 23. Al-Maturidi lebih lanjut mengatakan bahwa Tuhan kelak di akhirat dapat dilihat dangan mata, karena Tuhan mempunyai sifat wujud walaupun Ia immaterial. Namun melihat Tuhan, kelak di akhirat tidak dalam bentuknya (bila kaifa), karena keadaan di akhirat berdeda dengan keadaan di dunia.[14]
6.Kalam Tuhan
Al-Maturidi  sependapat dengan Al-Asy’ari demikian juga dengan Abu Hanifah bahwa kalam Allah adalah qodim. Ia mengatakan bahwa Al-Qur’an adalah kalam Allah yang qodim, tidak dirubah, tidak diciptakan, tidak baru dan ada permulaannya. Adapun huruf-huruf muqaththa’ah bentuk-bentuk, warna-warna, suara-suara dan segala sesuatu yang tertentu dan segala sesuatu yang ada di alam dari al-Mukaffayat, adalah makhluk yang bermulaan dan diciptakan, dan sesungguhnya kalam Allah SWT adalah sifat yang ada dengan dzat Allah ta’ala, yang tidaj tersusun dari huruf-huruf dan suara-suara.[15]
7.Perbuatan Munusia
Menurut Al-Maturidi, tidak ada sesuatu yang terdapat dalam wujud ini, kecuali semuanya atas keendak Tuhan, dan tidak ada yang memaksa atau membatasi kehendak Tuhan, kecuali ada hikmah dan keadilan yang ditentukan oleh kehendak-Nya sendiri. Oleh karena itu Tuhan tidak wajib berbuat ash-shalah wa al-shalah (yang baik dan terbaik bagi manusia). Setiap perbuatan Tuhan yang bersifat mencipta atau kewajiban-kewajiban tersebut antara lain:
a. Tuhan tidak membedakan kewajiban-kewajiban kepada manusia diluar kemampuannya karena hal tersebut tidak sesuai dengan keadilan, dan manusia juga diberi kemerdekaan oleh Tuhan dalam kemampuan dan perbuatannya.
b. Hukum atau ancaman  dan janji terjadi karena merupakan tuntutan keadilan yang sudah ditetapkan-Nya.
8.Pengutusan Rasul
Akal tidak selamanya mampu mengetahui kewajiban yang dibebankan kepada manusia, seperti kewajiban mengetahui baik dan buruk serta kewajiban lainnya dari sifat ang dibebankan kepada manusia. Oleh karena itu, menurut Al-Maturidi , akal memerlukan bimbingan ajaran wahyu untuk mengetaui kewajiban- kewajiban tersebut. Jadi pengutusan rasul berfungsi sebagai sember informasi. Tanpa mengikuti ajaran wahyu yang disampaikan rasul berarti manusia telah membebankan sesuatu yang berada diluar kemampuannya kepada akalnya.
Pandangan Al-Maturidi ini tidak jauh berbeda dengan pandangan Mu’tazilah yang berpendapat bawa pengutusan rasul ketengah-tengah umatnya adalah kewajiban Tuhan agar manusia dapat berbuat baik dan terbaik dalam kehidupanya.
9.Pelaku Dosa Besar (Murtakib Al-Kabir)
Al-Maturidi berpendapat bahwa orang yang berdosar besar tidak kafir dan tidak kekal didalam neraka walaupun ia mati sebelum bertaubat. Hal ini karena Tuhan telah menjanjikan akan memberikan balasan kepada manusia sesuai dengan perbuatanya. Kekal di dalam neraka adalah balasan untik orang berbuat dosa syirik. Dengan demikian. Berbuat dosa selain syirik tidak akan menyebabkan pelakunya kekal di dalam neraka. Oleh karena itu, perbuatan dosa besar (selain syirik) tidaklah mejadikan seseorang kafir atau murtad. Menurut Al-Maturidi, iman itu cukup dengan tashdiq dan iqrar, sedangkan amal adalah penyempurna iman. Oleh karena itu amal tidak akan menambah atau mengurangi esensi iman, kecuali menambah atau mengurangi sifatnya saja.[16]
C. Aliran Qadariyah
istilah al-Qadariayah adalah bentukan dari kata qadara yang berarti memutuskan dan memiliki kekuatan atau kemampuan sebagai aliran dalam teologi islam. Qadariyah dalah sebutan yang dipakai untuk suatu aliran yang member penekanan terhadap kebebasan dan kekuatan manusia dalam menghasilkan perbuatannya.[17]
Sejarah lahirnya aliran Qadariyah tidak dapat diketahui secara pasti dan masih merupakan sebuah perdebatan. Akan tetepi menurut Ahmad Amin, ada sebagian pakar teologi yang mengatakan bahwa Qadariyah pertama kali dimunculkan oleh Ma’bad al-Jauhani dan Ghilan ad-Dimasyqi sekitar tahun 70 H/689M.[18] Dalam kitab Sarh al-Uyundisebutkan, ada yang mengatakan bahwa yang pertama kali melahirkan paham Qadariyah adalah seorang laki-laki penduduk Irak, yang mula-mula beragama Nashroni, lalu masuk Islam, kemudian murtad kembali ke agama Nashroni. Dari dialah Ma’bad al-Juhani dan Goilan al-Dimasyqi menerima paham Qadariyah. Dari informasi ini kita mengetahui paham Qadariyah sengaja di masukkan ke dalam Islam dan berkembang di kalangan umat Islam dari unsure luar, dengan memakai nama Islam untuk maksut-maksut tertentu.[19]
Doktrin-Doktrin Qadariyah
Dalam kitab Al-Milal wa An-Nihal , pembahasan masalah Qadariyah disatukan dengan pembahasan tentang doktrin-doktrin Mu’tazilah, sehingga perbedaan antara kedua aliran ini kurang begitu jelas. Ahmad Amin juga menjelaskan bahwa doktrin qadar lebih luas di kupas oleh kalangan Mu’tazilah sebab faham ini juga menjadikan salah satu doktrin Mu’tazilah akibatnya, orang menamakan Qadariyah dengan Mu’tazilah karena kedua aliran ini sama-sama percaya bahwa manusia mempunyai kemampuan untuk mewujudkan tindakan tanpa campur tangan tuhan diberi ganjaran baik dengan balasan surga kelak di akhirat dan diberi ganjaran siksa dengan balasan neraka kelak di akhirat,itu berdasarkan pilihan pribadinya sendiri ,bukan akhir Tuhan.Sungguh tidak pantas,manusia menerima siksaan atau tindakan salah yang dilakukan bukan atas keinginan dan kemampuannya sendiri.[20]
Ajaran paham al-Qadariyah yang bersumber dari Ma’bad dan dikembang siarkan oleh Ghailan ini segera memperoleh pengikut yang cukup, tetapi dalam perjalanan sejarah Ma’bad memasuki lapangan politik dan menentang kekuasaan Bani Umayah, Akhirnya ia mati terbunuh pada tahun 80H/690M. Agaknya Ghailan, sepeninggal Ma’bad tampil sebagai penerus dalam mensyiarkan paham ini. Ghailan yang memiliki jabatan sekretaris dalam pemerintahan di Damaskus ini adalah sama dengan Ghailan yang menjadi salah satu tokoh paham al-Murji’ah al-Sholihiah bersama-sama dengn Shaleh Ibn Ilmar al-Shalihi, al-Shalihi Muhammad Ibn Syabit dan Abu Syamr[21]
D. Aliran Murji’ah
 Murji’ahdiambildari kata irja atau arja’a yang bermakna penundaan, penangguhan, dan pengharapan. Kata arja’a mengandung pula arti memberi pengharapan kepada pelaku dosa besar untuk memperoleh pangampunan dan rahmat Allah SWT. Selain itu arja’a berarti pula meletakkan di belakang atau mengemudikan, yaitu orang yang  mengemudikan amal dari iman. Oleh karena itu Murji’ah  artinya orang yang menunda penjelasan kedudukan seseorang yang bersengketa, yakni Ali dan Mu’awiyah serta pasukannya masing-masing ke hari kiamat kelak.
Aliran Murji’ah muncul sebagai reaksi atas sikapnya yang tidak mau terlibat dalam upaya “kafir mengkafirkan” terhadap orang yang melakukan dosa besar, sebagaimana hal ini dilakukan oleh aliran Khawarij.[22]
2. Doktrin-doktrinPokokMurji’ah
Doktrin-doktrin aliran Murji’ah bisa diketahui dari makna yang terkandung dalam “murji’ah” dan dalam sikap netralnya. Pandangan “netral” tersebut, nampak pada penamaan aliran ini yang berasal dari kata “arja’a”, yang berarti “orang yang menangguhkan”, mengakhirkan dan “memberi pengharapan”. Menangguhkan berarti “menunda soal siksaan seseorang di tangan Tuhan, yakni jika Tuhan mau memaafkan, dia akan langsung masuk surga. Jika sebaliknya, maka akan disiksa sesuai dengan dosanya.
   Istilah “member harapan” mengandung arti bahwa, orang yang  melakukan maksiat padahal ia seorang mukmin, imannya masih tetap sempurna. Sebab, perbuatan maksiat tidak mendatangkan pengaruh buruk terhadap keimanannya,  sebagaimana halnya perbuatan taat atau baik yang dilakukan oleh orang kafir, tidak akan mendatangkan faedah terhadap kekufurannya. Mereka “berharap” bahwa seorang mukmin yang melakukan maksiat, ia masih dikatakan mukmin.
   Berdasarkan itu, maka inti faham atau doktrin-doktrin Murji’ah adalah sebagai berikut :
1.      Iman ialah mengenal Allah dan Rasulnya, barangsiapa yang tidak mengenal bahwa “tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad sebagai Rasul-Nya”, ia mukmin sekalipun melakukan dosa.
2.      Amal perbuatan bukan merupakan bagian dari iman, sebab iman adanya dalam hati. Sekalipun melakukan dosa besar, tidaklah akan menghapus iman seseorang, tetapi terserah Allah untuk menentukan hukumnya.[23] 
Kaum Murji’ah pecah menjadi beberapa golongan kecil. Namun,  pada umumnya Aliran Murji’ah menurut Harun Nasutuion, terbagi kepada dua golongan besar, yakni “golongan moderat” dan “golongan ekstrim”.[24]
  Golongan Murji’ah moderat berpendapat bahwa orang yang  berdosa besar bukanlah kafir dan tidak kekal dalam neraka, tetapi akan di hukum sesuai dengan besar kecilnya dosa  yang dilakukan. Sedangkan Murji’ah ekstrim, yaitu pengikut Jaham Ibnu Sofwan,  berpendapat bahwa orang Islam yang percaya kepada Tuhan kemudian menyatakan kekufuran secara lisan, tidaklah menjadi kafir, karena iman dan kufur tempatnya dalam hati. Bahkan, orang yang menyembah berhala, menjalankan agama Yahudi dan Kristen sehingga ia mati, tidaklah menjadi kafir. Orang yang demikian, menurut pandangan Allah, tetap merupakan seorang mukmin yang sempurna imannya.
   Kelompok ekstrim dalam Murji’ah terbagi menjadi empat kelompok besar, yaitu :
1.           Al-Jahmiyah, kelompok Jahm bin Syahwan dan para pengikutnya, berpandangan bahwa orang yang percaya kepada tuhan kemudian menyatakan kekufuran secara lisan, tidaklah menjadi kafir karena iman dan kufur itu bertempat di dalam hati bukan pada bagian lain dalam tubuh manusia.
2.           Shalihiyah, kelompok Abu Hasan Ash-Shalihi, berpendapat bahwa iman adalah mengetahui tuhan, sedangkan kufur tidak tahu tuhan. Sholat bukan merupakan ibadah kepada Allah, yang disebut ibadah adalah iman kepada-Nya dalam arti mengetahui tuhan. Begitu pula zakat, puasa dan haji bukanlah ibadah, melainkan sekedar menggambarkan kepatuhan.
3.           Yumusiah dan Ubaidiyah, melontarkan pernyataan bahwa melakukan maksiat atau perbuatan jahat tidaklah merusak iman seseorang. Mati dalam iman, dosa-dosa dan perbuatan jahat yang dikerjakan tidaklah merugikan orang yang bersangkutan. Dalam hal ini Muqatil bin Sulaiman berpendapat bahwa. perbuatan jahat, banyak atau sedikit tidak merusak iman seseorang sebagai musyrik.
4.           Hasaniyah, jika seseorang mengatakan “saya tahu Tuhan melarang makan babi, tetapi saya tidak tahu apakah babi yang diharamkan itu adalah kambing ini”, maka orang tersebut tetap mukmin, bukan kafir.[25]

























III. PENUTUP
            Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa aliran Asy’ariyah merupakan aliran yang ditokohi oleh Abu Musa Al-Asy’ari yang mempunyai nama lengkap Abu Hasan Ali bin Isma’il bin Ishaq bin Salim bin Isma’il bin Abdullah bin Musa bin Bilal bin Abi bin Abi Musa Al-Asy’ari. Adapun pemikiran-pemikiran Al-Asy’ari yang terpenting antara lain : Tuhan dan Sifat-sifat-Nya, kebebasan dalam berkehendak (free-will), akal dan wahyu dan kriterian baik dan buruk, melihat Allah, dan kedudukan orang berdosa.
            Tokoh aliran Maturidiyah adalah Abu Mansur Al-Maturidi. Adapun pemikiran-pemikirannya antara lain : akal dan wahyu, perbuatan manusia, kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan, mengenai sifat Allah SWT, melihat Tuhan, Kalam Tuhan, perbuatan manusia, pengutusan Rasul, dan pelaku dosa besar (Murtakab Al-kabir).
            Aliran Qadariyah mempunyai pokok pemikiran bahwa usaha dan gerak perbuatan manusia ditimbulkan sendiri, bukan dari Allah. Dalam pandangannya, manusia mempunyai kebebasan untuk menentukan perbuatannya serta melakukan perbuatannya itu. Dan di akhirat mereka harus mempertanggungjawabkan semua perbuatan itu. Faham ini mula-mula dianjurkan oleh Ma’bad Al-Juhainy, Ghailan Al-Dimasyqi, dan Al-Ja’du bin Dirham. Ketiga tokoh ini hidup pada zaman Daulah Umayyah dan ketiganya mati terbunuh.
            Aliran Murji’ah berpendapat bahwa mukmin yang melakukan dosa besar masih tetap mukmin, yaitu mukmin yang berdosa tidak berubah menjadi kafir. Aliran ini jiga berpendapat bahwa kemaksiatan tidaklah menghilangkan keimanan atau memberi bekas terhadap keimanan seseorang, sebagaimana ketaatan tidak memberi pengaruh terhadap orang kafir.












                                                                       
DAFTAR PUSTAKA

Abu Zahrah, Imam Muhammad, 1996, Aliran Politik dan Aqidah dalam Islam, Jakarta, Logos.
Al-Asy’ari, Abu al Hasan, 1950, Maqalat al-Islamiyyah, Kairo, An-Nahdhah al-Mishriyah.
Al-Maturidi, Abu Mansur, 1979, Kitab at-Tauhid, Turki, Al-maktabah al-islamiyah.
Al-Syahrastani, Abdul Karim, tt, al-Milal wa an-Nihal, Mesir, Darul fikr.
Amin, Ahmad, 1964, Dhuhr al-islam, Kairo, An-Nadhah al-Mishriyah.
Anwar Rohison,  Abdul Razak, 2001, Ilmu Kalam, Bandung, Pustaka Setia.
Forum Guru bina PAI Madrasah Aliyah, 2008, Al Hikmah, Sragen, CV. Akik Pusaka.
Mufid, Fathul, 2009, Ilmu tauhid/ilmu kalam, Kudus, STAIN Kudus.
Nata, Abudin,1994, Ilmu Kalam, Filasfat dan Tashawuf, Jakarta, Rajawali Press.
http://aftanet.blogspot.com/2011/06/sejarah-munculnya-aliran-asariyah-dan.html
http://takberhentiberharap.wordpress.com/2011/05/11/aliran-qadariyah
sherikay.blogspot.com/2008/11/aliran-qadariyah.html.
http://man2amuntai.wordpress.com/2008/11/29/aliran-murjiah/


                                                                 


[1]http://Ilhamyp06.blogspot.com/2011/05/aliran-tokoh-ilmu-kalam.html, diakses 13 febuari 2012, jam 14.00 WIB

                                                                                               
[2] Forum Guru bina PAI Madrasah Aliyah,al hikmah,(Sragen:CV.akik pusaka,2008), hlm 28
[3]http://aftanet.blogspot.com/2011/06/sejarah-munculnya-aliran-asariyah-dan.html, di akses 16 februari 2012, 20.00 Wib
                                                                                               
[4] Ahmad Amin, Dhuhr al-islam,(Kairo:An-Nadhah al-Mishriyah,1964), hlm 75
                                                                                               
[6] Abu al hasan Al-Asy’ari, Maqalat al-islamiyyah,(Kairo:An-Nahdhah al-Mishriyah,1950),hlm 9
[7] Abdul karim al-syahrstani,al-milal wa an-nihal(Mesir:Darul fikr,tt),hlm 6
                                                                                               
[8]http://aftanet.blogspot.com/2011/06/sejarah-munculnya-aliran-asariyah-dan.html, di akses 16 februari 2012, 20.00 Wib

                                                                                               
[9]Fathul Mufid, Ilmu tauhid/ilmu kalam,(Kudus: STAIN Kudus,2009), cet 1,hlm 133
[10]Ibid, hlm 134
[11]Ibid, hlm 135

                                                                                               
[12] Abu Mansur Al-Maturidi, Kitab at-Tauhid,(Turki: Al-maktabah al-islamiyah,1979,)hlm 10
[13]Ibid, hlm 13
[14]http://aftanet.blogspot.com/2011/06/sejarah-munculnya-aliran-asariyah-dan.html, di akses 16 februari 2012, 20.00 Wib
[15] Abu Mansur Al-Maturidi,op.cit

                                                                                               
[16]http://aftanet.blogspot.com/2011/06/sejarah-munculnya-aliran-asariyah-dan.html, di akses 16 februari 2012, 20.00 Wib

                                                                                               
[17]Abudin Nata, Ilmu Kalam, Filasfat dan Tashawuf,(Jakarta: Rajawali Press,1994), hlm 36
[18]http://takberhentiberharap.wordpress.com/2011/05/11/aliran-qadariyah, di akses 16 februari 2012, jam 21.00 WIB
[19] Imam Muhammad Abu Zahrah, Aliran Politik dan Aqidah dalam Islam, (Jakarta: Logos,1996),hlm 133
[20]sherikay.blogspot.com/2008/11/aliran-qadariyah.html, di akses 16 februari 2012, jam 21.15 WIB

                                                                                               
[21]Abdul Karim al-syahrstani, op.cit hlm145
[22]Rohison Anwar  dan  Abdul Razak, Ilmu Kalam, (Bandung : Pustaka Setia,2001),hlm 56

                                                                                               
[23]http://man2amuntai.wordpress.com/2008/11/29/aliran-murjiah/diakses pada 17 Februari 2012, jam 21.30 WIB
[24]http://man2amuntai.wordpress.com/2008/11/29/aliran-murjiah/ di akses pada 16 Februari 2012, 22.00 WIB
                                                                                               
[25]Rohison Anwar, dan  AbdulRazak, op. cit. Hal. 61.
                                                                                               

Tidak ada komentar:

Posting Komentar